Zakat Tanaman Dan Buah-buahan Bahtsul Masail Assarwani
Terserah banyak variasi pohon pangan. Pohon jenggala yang
manshush
(tertuang intern pustaka syariat) adalah tanaman pangan nan masuk kategori biji-bijian dan bisa disimpan dalam jangka hari lama. Dengan begitu, maka yang masuk dalam kategori diversifikasi tumbuhan mesti zakat adalah garai, padi, jagung, dan jenis polong-kacangan (al-ful). Adapun lakukan jenis tanaman produktif, ialah tanaman yang bisa dimanfaatkan segi buahnya untuk pamrih diperdagangkan. Pendalaman pada sisi buah ini dikarenakan asal dari teks syariat (nash), hanya menyebutkan zakat biji pelir (tsimar). Hipotetis berpokok tanaman ini yakni kurma dan anggur. Lakukan kategori tanaman yang sifatnya
manshush
ini, para ulama sepakat mengelompokkan zakatnya sebagai zakat perladangan.
Apakah sudah layak sampai di sini? Ternyata lain. Para ulama berselisih pendapat akan halnya denotasi buah di sini. Semisal, pohon tiras, ia masuk kategori pokok kayu berharta kerumahtanggaan rencana produksi pulut karet. Tanaman sawit, maka hasil produksi nyata buah sawit. Perkebunan Teh, masuk elemen produktifnya positif daun teh.
Karena sebelumnya bukan dijumpai dalam referensi, maka teknik penyelesaian zakat dari kelompok tanaman produksi jenis ini, diperselisihkan. Suka-suka yang memutus teristiadat zakat pertanian, namun suka-suka juga yang memutus sebagai enggak zakat pertanian melainkan dikembalikan sreg
qashdu li-al-tijarah
(karsa diperdagangkan)-nya. Seandainya melihat dari sisi
qashdu al-tijarah, maka zakatnya dinamakan zakat bursa (tijarah). Insyaallah kita periksa lusa kerumahtanggaan zakat perkebunan. Bisa jadi ini kita fokus terlebih dulu pada zakat pertanian.
Syariat Islam sememangnya membagi zakat pertanian berdasar dua kategori lahan.
Purwa
, lahan tadah hujan angin (‘atsary), dan
kedua
lahan pengairan berbayar (dawalib). Namun, berbekal mencermati realitas di masyarakat, ada juga petak yang di perian musim penghujan, anda berbahagia siraman air hujan dan sudah mencukupi. Tetapi, detik musim kemarau, areal itu disirami dengan tali air berbayar. Berbekal realita ini, maka para ulama memasukkan kategori petak jenis
ketiga
, adalah persil dari irigasi campuran. Kita akan masuk privat penjelasan saban.
Tanah Tadah Hujan (‘Atsary)
Rata-rata masyarakat memaknai persil tadah hujan ini sebagai tanah yang pengairannya hanya mengandalkan air hujan semata atau limpasan air hujan semata (al-saili). Tidak ada kendaraan irigasi lain selain hal itu. Sementara itu tidak demikian pengertiannya, sama dengan yang tertuang di internal kitab-kitab turats yang
mu’tabar.
Timbrung dalam rumpun lahan pertanian tadah hujan angin adalah tanah yang pengairannya mewah di lokasi nan dekat dengan batang air sehingga akar-akar tanaman budidaya secara langsung menyerap dan mencekit air mulai sejak batang air, adalah timbrung dalam rumpun tanah tadah hujan. Fiqih membahasakan tanaman seperti mana ini dengan istilah
al-ba’lu. Demikian pun dengan kapling persawahan nan dialiri oleh mata air tidak berbayar (‘adamu al-mu’nati), semua ini adalah masuk kategori tadah hujan.
Memang di dalam
nash
dinyatakan sifat umum bermula model siraman ini, dinyatakan perumpamaan air langit (mau al-selevel’) tetapi. Sahaja para cerdik pandai menjalin
illat
(alasan sumber akar hukum) dari air langit
ini andai irigrasi gratis, tanpa dipungut biaya (‘adamu al-mu’nah). Terhadap pokok kayu yang punya kesamaan
illat
serupa ini, maka diputuskan jumlah wajibnya zakat bak 10% pecah hasil tanaman, dengan catatan telah mencapai
nishab
dan
haul
(Kifayatu al-Akhyar, juz I, pekarangan 189).
Lahan Tali air Berbayar
Fiqih sesungguhnya sekadar menyatakan konsepsi:
إن سقيت بدواليب أو غرب نصف العشر
Artinya: “Jika sebuah tanaman diairi dengan menggunakan gayung maupun timba yang ki akbar, maka zakatnya setengahnya sepersepuluh (5%)” (Kifayatu al-Akhyar, Juz I, halaman 189).
Dawalib
n kepunyaan makna dasar berwujud gayung maupun timba kerdil. Artinya, untuk menyirami tanaman, dibutuhkan jerih lejar mendatangkan airnya dan menyiramkannya. Umpama perlu seorang pekerja untuk mendatangkan, maka pelaku tersebut memaui
ujrah
(upah). Upah masuk privat rumpun
mu’padalah
(biaya). Adanya biaya ini kemudian dijadikan
illat
bahwa semua kategori tali air perladangan nan dilakukan dengan kronologi membedakan biaya, merupakan turut rumpun
ma suqiyat bi dawalib
(areal irigasi berbayar).
Qiyas di atas sebenarnya sekali lagi mulai dari sebuah pengertian dalil pangkal nyata hadits Rasulillah
shallallahu ‘alaihi wasallam:
فِيمَا سَقَتِ اَلسَّمَاءُ وَالْعُيُونُ, أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا: اَلْعُشْرُ, وَفِيمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ: نِصْفُ اَلْعُشْرِ. – رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ
Artinya: “Setiap areal yang mendapat siraman lagit, ain air, atau tadah hujan abu, maka zakatnya adalah 10%. Sementara areal yang disirami dengan mengaryakan onta, maka zakatnya ialah 5%” (HR. Bukhari).
Kesannya, lahan tanaman nan diperoleh dari lahan irigasi berbayar, bila telah mencapai nishab dan haul, maka barang bawaan zakatnya adalah 5%.
Persil Pengairan Fusi
Sama dengan telah disinggung di atas, bahwa tanah nan masuk kategori ini, adalah petak dengan ciri tersendiri irigasinya tergantung pada masa. Puas waktu hari penghujan, ternyata kondisinya layak dengan siraman air hujan amung. Sementara pada waktu musim kemarau, maka persil harus diairi dengan menggunakan irigasi berbayar. Nah, bagaimana dengan kodrat zakatnya? Ini merupakan sebuah pertanyaan penting sekali disampaikan.
Menurut Syekh Taqiyuddin al-Hushny n domestik
Kifayatu al-Akhyar, solusi zakatnya adalah dengan ditetapkan dengan jalan
taqshith. Taqshith ini dilakukan dengan jalan membandingkannya antara lama areal disirami dengan air hujan angin, dan disirami dengan air tali air berbayar. Bila lama rembulan antara penghujan dan kemarau adalah sama dalam satu tahunnya (penghujan 6 wulan, kemarau 6 bulan), maka zakat yang dapat dipungut berpunca areal irigasi campuran ini adalah sebesar 7,5%. Besaran persentase nan sama juga ditetapkan bagi lama musim penghujan dan kemarau yang enggak jelas/tidak diketahui. Satu misal, tuan sangsi, berapa lama musim penghujan mutakadim lewat, dan kemarau telah terlampau, maka dalam kondisi sejenis ini, seluruh hasil pohon yang diperoleh dari musim penghujan dan kemarau ditotal secara awam, kemudian diambil 7,5%-nya sebagai zakat.
Bagaimana bila diketahui lama sendirisendiri musim? Privat kondisi begitu juga ini, maka manajemen cara penentuan jumlah zakat bisa dilakukan dengan cara membandingkannya. Semisal, waktu penghujan berlangsung selama 4 bulan. Sementara musim kemarau, berlanjut selama 8 bulan. Maka cara cak menjumlah persentase zakatnya, yakni harus lebih dari 5%, dan kurang dari 10%.
Contoh, jika satu tahun tadah hujan abu harus mengeluarkan zakat sebesar 10%, maka kerjakan lama 4 bulan tali air tadah hujan angin, maka persentase zakatnya adalah sebesar: (4 bulan/12 bulan) x 10% = 3,33%. Untuk 8 bulan irigasi berbayar, maka persentase zakatnya adalah sebesar (8 bulan/12 rembulan) x 5% = 3,33 %. Jumlah persentase tadah hujan abu ditambah total persentase irigasi berbayar = 3.33% + 3.33%, sehingga total 6,66%.
Padalah, kini bikinlah teladan lain, semisal takdirnya lama tali air hujan sepanjang 8 bulan, dan irigasi berbayar 4 bulan, maka berapa persenkah zakat yang harus dibayarkan? Takdirnya jawaban dia adalah 8,33%, maka jawaban anda adalah benar.
Wallahu a’lam
bi
sh
shawab.
Ustadz
Muhamamd Syamsudin,
Peneliti Parasan Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Source: https://islam.nu.or.id/zakat/tiga-jenis-zakat-pertanian-dan-cara-menunaikannya-QyJ7i
Posted by: holymayhem.com