Tanaman Sayur Buah Dan Bunga Akuaponik

Gambaran klasik pertanian di Indonesia

Pertanian
adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, objek baku pabrik, ataupun sumber energi, serta untuk mengelola mileu hidupnya.[1]
Kegiatan penggunaan sumber daya hayati yang tertera dalam perkebunan resmi dipahami orang laksana budidaya tumbuhan alias berpadan tanam serta pembesaran dabat piaraan, walaupun cakupannya dapat pula konkret pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim internal pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekadar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.

Adegan terbesar penduduk dunia bermata pencaharian internal bidang-parasan di jangkauan pertanian, sekadar persawahan semata-mata menyumbang 4% berpangkal PDB marcapada.[2]

Kerubungan ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-aji-aji pendukungnya. Karena pertanaman selalu terikat dengan ruang dan musim, ilmu-ilmu pendukung, begitu juga ilmu lahan, meteorologi, teknik perladangan, biokimia, dan statistika juga dipelajari internal pertanaman. Usaha bertanam adalah putaran inti bersumber pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan nan dilakukan internal budidaya. “Peladang” adalah sebutan untuk mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai teladan “petani tembakau” atau “peladang iwak”. Pelaku budidaya hewan ternak secara individual disebut sebagai
peternak.

Cakupan pertanian

[sunting
|
sunting sumber]

Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pendayagunaan makhluk hidup (termasuk pohon, hewan, dan mikrobia) buat maslahat manusia.[3]
Dalam arti sempit, persawahan diartikan sebagai kegiatan pembudidayaan tanaman.

Manuver pertanian diberi nama istimewa lakukan subjek usaha bertanam tertentu. Kehutanan adalah usaha berladang dengan subjek pokok kayu (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang secabik liar atau liar (hutan). Peternakan memperalat subjek sato darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) maupun insekta (misalnya lebah). Perikanan memiliki subjek satwa perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air). Suatu usaha pertanian bisa melibatkan berbagai subjek ini bersama-seperti alasan tepat guna dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan keabadian mileu mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumur daya liwa pula menjadi bagian n domestik usaha pertanian.

Semua propaganda perkebunan pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-dasar kabar yang sama akan manajemen tempat gerakan, penyaringan benih/bibit, metode budidaya, penumpukan hasil, revolusi dagangan, pengolahan dan penyiapan produk, dan pemasaran. Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi untuk menyentuh keuntungan maksimal maka anda melakukan pertanaman intensif. Persuasi pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagai agribisnis. Program dan kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke prinsip pandang demikian dikenal sebagai
intensifikasi. Karena perladangan industri buruk perut menerapkan persawahan intensif, keduanya berkali-kali disamakan.

Arah pertanian industrial nan menuding lingkungannya merupakan pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya sebagai halnya pertanian organik atau permakultur, memasukkan aspek keabadian daya dukung lahan maupun lingkungan dan manifesto tempatan perumpamaan faktor utama internal runding efisiensinya. Karenanya, pertanaman terus-menerus galibnya mengasihkan hasil yang bertambah rendah daripada pertanian industrial.

Pertanian modern perian sekarang lazimnya menerapkan sebagian komponen dari kedua antiwirawan “ideologi” pertanian yang disebutkan di atas. Selain keduanya, dikenal kembali tulang beragangan pertanaman ekstensif (pertanian pemerolehan terbatas) yang internal bagan paling ekstrem dan tradisional akan berbentuk pertanian subsisten, yaitu doang dilakukan tanpa motif membahu dan semata hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau komunitasnya.

Andai suatu propaganda, pertanian memiliki dua ciri berguna: selalu menyertakan produk intern volume besar dan proses produksi punya risiko yang nisbi tinggi. Dua ciri khas ini muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam suatu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang lakukan kegiatan itu serta paser waktu tertentu n domestik proses produksi. Beberapa lembaga pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponik) telah boleh mengurangi ciri-ciri ini belaka sebagian besar gerakan pertanian dunia masih tetap demikian.

Sejarah singkat perladangan bumi

[sunting
|
sunting sumber]

Kewedanan “bulan sabit yang subur” di Timur Tengah. Di kancah ini ditemukan bukti-bukti semula perkebunan, seperti biji-bijian dan alat-alat pengolahnya.

Domestikasi monyet diduga telah dilakukan bahkan pada saat manusia belum mengenal budidaya (umum berburu dan pengoplos) dan adalah kegiatan pemeliharaan dan pembudidayaan fauna yang permulaan kali. Selain itu, praktik pemanfaatan pangan sebagai sumber alamat hutan diketahui sebagai agroekosistem yang tertua.[4]
Pemanfaatan hutan seumpama kebun diawali dengan peradaban berbasis hutan di sekitar kali besar. Secara bertahap orang mengidentifikasi pepohonan dan semak nan bermakna. Hingga akibatnya pemilahan buatan oleh manusia terjadi dengan menyingkirkan spesies dan varietas yang buruk dan melembarkan nan baik.[5]

Kegiatan persawahan (budidaya tumbuhan dan ternak) yakni riuk suatu kegiatan yang secepat-cepatnya dikenal peradaban khalayak dan meniadakan jumlah rang kebudayaan. Para ahli prasejarah umumnya bersepakat bahwa pertanian mula-mula mana tahu berkembang sekitar 12.000 tahun yang lalu dari kebudayaan di daerah “wulan sabit yang subur” di Timur Tengah, yang menutupi negeri lembah Sungai Tigris dan Eufrat terus memanjang ke barat hingga kawasan Suriah dan Yordania sekarang. Bukti-bukti nan permulaan kelihatannya dijumpai menunjukkan adanya budidaya tumbuhan kredit-bijian (serealia, terutama cante kuno seperti
emmer) dan bin-polongan di kawasan tersebut. Pada saat itu, 2000 tahun selepas berakhirnya Zaman Es buncit pada era Pleistosen, di dearah ini banyak dijumpai hutan dan padang nan terlampau sepakat cak bagi mulainya pertanian. Perkebunan sudah dikenal oleh umum yang telah mencecah peradaban bisikan mulai dewasa (neolitikum), perunggu dan megalitikum. Pertanian mengubah bentuk-bentuk ajun, mulai sejak pemujaan terhadap dewa-batara perburuan menjadi ikram terhadap dewa-dewa perlambang kesuburan dan ketersediaan pangan. Pada 5300 tahun yang lalu di China, meong didomestikasi kerjakan menjalin hewan pengerat yang menjadi wereng di ladang.[6]

Teknik budidaya tanaman lalu menjalar ke barat (Eropa dan Afrika Utara, kapan itu Sahara belum sepenuhnya menjadi gurun) dan ke timur (hingga Asia Timur dan Asia Tenggara). Bukti-bukti di Tiongkok menunjukkan adanya budidaya jewawut dan antah sejak 6000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Asia Tenggara telah mengenal budidaya padi sawah paling tidak sreg ketika 3000 tahun SM dan Jepang serta Korea sejak 1000 hari SM. Sedangkan, umum kontinen Amerika mengembangkan tanaman dan sato budidaya yang sejak awal sekelas sekali farik.

Hewan piaraan yang pertama kali didomestikasi yakni embek/domba (7000 periode SM) serta babi (6000 waktu SM), bersama-sebagai halnya domestikasi kucing. Sapi, aswa, kerbau, yak start dikembangkan antara 6000 hingga 3000 tahun SM. Unggas mulai dibudidayakan lebih kemudian. Bernga sutera diketahui telah diternakkan 2000 tahun SM. Budidaya lauk air batil baru dikenal berbunga 2000 waktu yang lalu di negeri Tiongkok dan Jepang. Budidaya ikan laut bahkan baru dikenal makhluk puas abad ke-20 ini.

Budidaya sayur-sayuran dan buah-buahan juga dikenal manusia telah lama. Mahajana Mesir Historis (4000 perian SM) dan Yunani Kuno (3000 tahun SM) telah mengenal baik budidaya berpangku tangan dan oliva.

Tumbuhan serat didomestikasikan di saat yang kurang lebih bersamaan dengan domestikasi tanaman rimba. China mendomestikasikan ganja sebagai penghasil serat untuk membuat kusen, tekstil, dan sebagainya; kapas didomestikasikan di dua tempat yang berbeda yaitu Afrika dan Amerika Daksina; di Timur Tengah dibudidayakan flax.[7]
Eksploitasi gizi untuk mengkondisikan tanah sebagai halnya pupuk kandang, bunga tanah, dan abu mutakadim dikembangkan secara bebas di berbagai medan di dunia, termasuk Mesopotamia, Tahang Nil, dan Asia Timur.[8]

Perkebunan mutakhir

[sunting
|
sunting sendang]

Citra inframerah pertanian di Minnesota. Tanaman sehat bercat merah, lopak air berwarna hitam, dan lahan mumbung pestisida berwarna coklat

Pertanian pada abad ke 20 dicirikan dengan peningkatan hasil, pemanfaatan rabuk dan pestisida sintetik, pemijahan selektif, mekanisasi, pencemaran air, dan subsidi perkebunan. Partisan perladangan organik seperti Sir Albert Howard berpendapat bahwa di sediakala abad ke 20, penggunaan pestisida dan jamur sintetik yang berlebihan dan secara jangka panjang dapat negatif kesuburan tanah. Pendapat ini drman sepanjang puluhan musim, hingga pemahaman mileu meningkat di sediakala abad ke 21 menyebabkan gerakan perladangan berkelanjutan menjangkit dan berangkat dikembangkan oleh petani, pengguna, dan pembuat kebijakan.

Sejak tahun 1990-an, terletak perlawanan terhadap surat berharga lingkungan berusul pertanian konvensional, terutama akan halnya pengotoran air,[9]
menyebabkan tumbuhnya gerakan organik. Salah suatu penggerak terdahulu dari gerakan ini adalah sertifikasi bahan hutan organik pertama di dunia, yang dilakukan oleh Uni Eropa pada perian 1991, dan menginjak mereformasi Strategi Pertanian Bersama Uni Eropa puas tahun 2005.[10]
Pertumbuhan perkebunan organik telah memperbarui riset internal teknologi alternatif sama dengan manajemen hama terpadu dan pembiakan selektif. Jalan teknologi terkini yang dipergunakan secara luas yaitu bahan rimba termodifikasi secara genetik.

Di akhir masa 2007, bilang faktor mendorong peningkatan harga biji-bijian yang dikonsumsi manusia dan dabat peliharaan, menyebabkan kenaikan harga gandum (hingga 58%), kedelai (sampai 32%), dan jagung (sampai 11%) kerumahtanggaan satu masa. Kontribusi terbesar cak semau pada peningkatan permintaan biji-bijian sebagai bahan pakan peliharaan di Cina dan India, dan transmutasi angka-bijian bahan pangan menjadi produk biofuel.[11]
[12]
Hal ini menyebabkan kerusuhan dan unjuk rasa yang menghendaki turunnya harga pangan.[13]
[14]
[15]
International Fund for Agricultural Development mengusulkan peningkatan pertanian skala katai dapat menjadi solusi untuk meningkatkan simpanan mangsa wana dan juga toleransi wana. Visi mereka didasarkan pada perkembangan Vietnam yang mengalir berbunga importir ki gua garba ke eksportir perut, dan mengalami penurunan poin kemiskinan secara berjasa dikarenakan peningkatan jumlah dan volume usaha kecil di bidang pertanian di negara mereka.[16]

Sebuah epidemi yang disebabkan oleh fungi
Puccinia graminis
sreg pokok kayu gandum memencar di Afrika mengaras Asia.[17]
[18]
[19]
Diperkirakan 40% petak pertanian terdegradasi secara serius.[20]
Di Afrika, kecenderungan degenerasi tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan tanah tersebut semata-mata mampu menjatah bersantap 25% populasinya.[21]

Pada musim 2009, China merupakan produsen hasil pertanian terbesar di dunia, diikuti oleh Empok Eropa, India, dan Amerika Konsorsium, berdasarkan IMF.Pakar ekonomi mengukur total faktor produktivitas pertanian dan menemukan bahwa Amerika Serikat dagang saat ini 1.7 kali kian bakir dibandingkan dengan tahun 1948.[22]
Heksa- negara di dunia, ialah Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Australia, Argentina, dan Thailand mensuplai 90% biji-bijian objek pangan yang diperdagangkan di dunia.[23]
Defisit air yang terjadi telah meningkatkan impor biji-bijian di bineka negara berkembang,[24]
dan kemungkinan kembali akan terjadi di negara yang lebih besar begitu juga China dan India.[25]

Karyawan

[sunting
|
sunting sumber]

Plong tahun 2011, Organisasi Perburuhan Internasional (disingkat ILO) menyatakan bahwa setidaknya terwalak 1 miliar lebih penghuni nan bekerja di bidang sektor perladangan. Perkebunan beramal sedikitnya 70% jumlah pelaku anak-anak, dan di berbagai ragam negara sejumlah besar wanita pun bekerja di sektor ini lebih banyak dibandingkan dengan sektor lainnya.[26]
Belaka sektor jasa yang mampu mengungguli jumlah pegiat pertanian, ialah pada masa 2007. Antara tahun 1997 dan 2007, jumlah sida-sida di bidang pertanian turun dan ialah sebuah kecenderungan nan akan berlanjut.[27]
Jumlah pelaku yang dipekerjakan di bidang perladangan beragam di berbagai negara, mulai berpokok 2% di negara beradab seperti Amerika Perkongsian dan Kanada, hingga 80% di berbagai negara di Afrika.[28]
Di negara maju, angka ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan abad sebelumnya. Pada abad ke 16, antara 55–75% warga Eropa berkreasi di bidang pertanian. Pada abad ke 19, kredit ini turun menjadi antara 35–65%.[29]
Angka ini sekarang turun menjadi adv minim berbunga 10%.[28]

Keamanan

[sunting
|
sunting sumber]

Batang pelindung risiko tergulingnya traktor dipasang di belakang kursi pengemudi

Perkebunan merupakan industri yang berbahaya. Penanam di seluruh bumi berkarya pada risiko tinggi terluka, penyakit rabu, hilangnya pendengaran, keburukan kulit, juga puru ajal tertentu karena pemakaian bulan-bulanan kimia dan paparan sorot mentari n domestik paser panjang. Plong perkebunan industri, jejas secara berkala terjadi pada penggunaan alat dan mesin pertanaman, dan penyebab terdahulu luka serius.[30]
Pestisida dan bahan ilmu pisah lainnya pula membahayakan kesehatan. Pelaku yang terpapar pestisida secara jangka tingkatan dapat menyebabkan kerusakan fertilitas.[31]
Di negara pabrik dengan keluarga nan semuanya berkarya sreg persil usaha bertegal nan dikembangkannya seorang, seluruh keluarga tersebut berpunya puas risiko.[32]
Penyebab terdepan kecelakaan fatal pada pegiat pertanian yaitu terbenam dan jejas akibat permesinan.[32]

ILO menyatakan bahwa pertanian misal pelecok satu sektor ekonomi yang membahayakan tenaga kerja.[26]
Diperkirakan bahwa kematian pekerja di sektor ini setidaknya 170 mili semangat per perian. Bineka kasus kematian, jejas, dan gempa bumi karena aktivitas pertanian sering kali enggak dilaporkan umpama hal akibat aktivitas pertanian.[33]
ILO sudah lalu mengembangkan Konvensi Kesegaran dan Keselamatan di meres Pertanian, 2001, nan mencengap risiko pada pekerjaan di bidang pertanian, penangkalan risiko ini, dan peran dari cucu adam dan organisasi terkait pertanian.[26]

Sistem pembudidayaan pohon

[sunting
|
sunting sumur]

Karakter sentral antah di Bihar, India

Sistem perkebunan dapat bervariasi lega setiap lahan aksi bercocok tanam, tergantung pada ketersediaan sumber rahasia dan pembatas; geografi dan iklim; strategi pemerintah; tekanan ekonomi, sosial, dan ketatanegaraan; dan filosofi dan budaya pembajak.[34]
[35]

Pertanian berpindah (babat dan bakar) yakni sistem di mana jenggala dibakar. Vitamin nan primitif di kapling setelah pembakaran dapat membantu pembudidayaan tumbuhan semusim dan menahun untuk beberapa hari.[36]
Lalu tanah tersebut ditinggalkan kiranya rimba bertaruk sekali lagi dan peladang berpindah ke petak hutan berikutnya nan akan dijadikan lahan pertanian. Perian tunggu akan semakin pendek ketika populasi petambak meningkat, sehingga membutuhkan input nutrisi dari pupuk dan endap-endap sato, dan pengendalian wereng. Pembudidayaan semusim berkembang dari budaya ini. Petambak tak berpindah, sekadar membutuhkan kesungguhan input pupuk dan pengendalian hama nan lebih tinggi.

Industrialisasi membawa pertanian monokultur di mana satu kultivar dibudidayakan pada tanah nan lalu luas. Karena tingkat keanekaragaman hayati yang rendah, penggunaan nutrisi berorientasi seragam dan wereng dapat terakumulasi pada halah tersebut, sehingga pemanfaatan pupuk dan pestisida meningkat.[35]
Di arah lain, sistem tumbuhan rotasi menumbuhkan tanaman berbeda secara kronologis dalam satu musim. Titip bibit yakni ketika tanaman nan berbeda ditanam plong perian nan sama dan persil yang sama, yang disebut pula dengan polikultur.[36]

Di lingkungan subtropis dan cengkar, preiode penanaman terbatas puas keberadaan tahun hujan abu sehingga tidak dimungkinkan menanam banyak pohon semusim bergiliran kerumahtanggaan setahun, atau dibutuhkan irigasi. Di semua jenis lingkungan ini, pokok kayu menahun sebagai halnya piagam dan kakao dan praktik wanatani bisa bertaruk. Di lingkungan beriklim sedang di mana padang rumput dan sabana banyak tumbuh, praktik budidaya tanaman semusim dan penggembalaan hewan dominan.[36]

Sistem produksi hewan

[sunting
|
sunting mata air]

Sistem produksi binatang ternak bisa didefinisikan berdasarkan sumber pakan yang digunakan, yang terdiri dari peternakan berbasis penggembalaan, sistem kandang mumbung, dan campuran.[37]
Pada tahun 2010, 30% lahan di dunia digunakan untuk memproduksi binatang piaraan dengan mempekerjakan lebih 1.3 miliar individu. Antara tahun 1960-an sampai 2000-an terjadi pertambahan produksi hewan ternak secara bermakna, dihitung bersumber jumlah ataupun massa karkas, terutama pada produksi daging sapi, daging babi, dan daging ayam. Produksi daging ayam jantan sreg periode tersebut meningkat sampai 10 kali lipat. Hasil sato non-daging seperti susu sapi dan telur ayam juga menunjukan pertambahan yang berfaedah. Populasi sapi, domba, dan embek diperkirakan akan terus meningkat setakat tahun 2050.[38]

Budi daya perikanan yakni produksi ikan dan hewan air lainnya di dalam lingkungan yang teratasi bakal konsumsi manusia. Sektor ini juga termasuk yang mengalami peningkatan hasil lazimnya 9% saban tahun antara masa 1975 hingga tahun 2007.[39]

Sejauh abad ke-20, pereka cipta satwa ternak dan ikan menggunakan pemijahan ketat untuk menciptakan ras hewan dan hibrida yang mampu meningkatkan hasil produksi, tanpa memperdulikan kedahagaan bagi mempertahankan keanekaragaman genetika. Gaya ini menembakkan penerjunan signifikan dalam variabilitas genetika dan perigi daya puas ras dabat peliharaan, yang menyebabkan berkurangnya pertentangan hewan ternak terhadap ki aib. Habituasi domestik yang sebelumnya banyak terdapat pada hewan peliharaan ras setempat lagi mulai musnah.[40]

Produksi fauna piaraan berbasis penggembalaan amat bergantung pada beber pan-ji-panji sama dengan stepa dan sabana untuk memberi bersantap hewan ruminansia. Kotoran hewan menjadi input nutrisi utama bagi vegetasi tersebut, namun input lain di luar endap-endap hewan dapat diberikan tersidai kebutuhan. Sistem ini berguna di daerah di mana produksi tanaman perladangan tidak memungkinkan karena kondisi iklim dan persil.[36]
Sistem campuran memperalat lahan penggembalaan sinkron pakan buatan yang merupakan hasil pertanian yang tergarap menjadi pakan ternak.[37]
Sistem kandang memelihara hewan ternak di kerumahtanggaan kandang secara munjung dengan input pakan yang harus diberikan setiap hari. Pengolahan kotoran piaraan boleh menjadi masalah pengotoran udara karena dapat menumpuk dan melepaskan gas metan dalam kuantitas besar.[37]

Negara industri menggunakan sistem kandang penuh untuk mensuplai sebagian besar daging dan produk peternakan di dalam negerinya. Diperkirakan 75% dari seluruh kenaikan produksi satwa peliharaan bermula musim 2003 setakat 2030 akan bergantung lega sistem produksi peternakan industri. Sebagian besar pertumbuhan ini akan terjadi di negara yang saat ini merupakan negara berkembang di Asia, dan sebagian kerdil di Afrika.[38]
Beberapa praktik digunakan intern produksi hewan piaraan jual beli seperti penggunaan hormon pertumbuhan menjadi kontroversi di beragam arena di dunia.[41]

Keburukan mileu

[sunting
|
sunting mata air]

Perladangan mampu menyebabkan kebobrokan melalui pestisida, persebaran nutrisi, penggunaan air berlebih, hilangnya lingkungan standard, dan masalah lainnya. Sebuah penilaian yang dilakukan pada tahun 2000 di Inggris menyebutkan total biaya eksternal cak bagi memintasi permasalahan lingkungan terkait pertanian adalah 2343 miliun Poundsterling, atau 208 Poundsterling per hektare.[42]
Sementara itu di Amerika Sindikat, biaya eksternal buat produksi tanaman pertaniannya menyentuh 5 hingga 16 miliar US Dollar atau 30-96 US Dollar per hektare, dan biaya eksternal produksi peternakan mengaras 714 juta US Dollar.[43]
Kedua penggalian titik api pada dampak fiskal, yang menghasilkan inferensi bahwa begitu banyak keadaan yang harus dilakukan cak bagi memasukkan biaya eksternal ke intern manuver pertanian. Keduanya tidak memasukkan subsidi di dalam analisisnya, namun memberikan gubahan bahwa subsidi pertanian juga mengangkut dampak lakukan masyarakat.[42]
[43]
Pada tahun 2010, International Resource Panel berusul UNEP mengkover informasi penilaian dampak lingkungan berpangkal konsumsi dan produksi. Studi tersebut menemukan bahwa pertanian dan konsumsi bahan rimba adalah dua kejadian yang memberikan tekanan pada mileu, terutama degradasi habitat, perubahan iklim, penggunaan air, dan emisi zat beracun.[44]

Keburukan lega hewan piaraan

[sunting
|
sunting sumber]

PBB melaporkan bahwa “hewan peliharaan merupakan pelecok satu penyumbang penting ki aib mileu”.[45]
70% lahan pertanian manjapada digunakan untuk produksi hewan peliharaan, secara bersama-sama alias tidak langsung, bak kapling penggembalaan maupun persil bagi memproduksi pakan piaraan. Jumlah ini setara dengan 30% total lahan di manjapada. Hewan ternak juga yakni salah satu penyumbang asap flat kaca berupa tabun metana dan nitro oksida nan, meski jumlahnya sedikit, namun dampaknya setara dengan emisi total CO2. Kejadian ini dikarenakan gas metana dan nitro oksida adalah tabun rumah kaca yang lebih kuat dibandingkan CO2. Peternakan sekali lagi didakwa laksana salah satu faktor penyebab terjadinya deforestasi. 70% basin Amazon yang sebelumnya adalah jenggala kini menjadi lahan penggembalaan hewan, dan sisanya menjadi lahan produksi pakan.[46]
Selain deforestasi dan degradasi lahan, budi daya hewan peliharaan nan sebagian ki akbar berkonsep ras partikular juga menjadi pemicu hilangnya keanekaragaman hayati.

Keburukan penggunaan petak dan air

[sunting
|
sunting perigi]

Transformasi lahan menuju penggunaannya untuk menghasilkan komoditas dan jasa yaitu pendirian yang paling substansial bagi manusia dalam mengingkari ekosistem marcapada, dan dikategrikan sebagai inisiator utama hilangnya kemajemukan hayati. Diperkirakan jumlah kapling nan diubah oleh manusia antara 39%-50%.[47]
Degradasi tanah, penurunan fungsi dan produktivitas ekosistem jangka panjang, diperkirakan terjadi pada 24% petak di bumi.[48]
Laporan FAO menyatakan bahwa manajemen persil sebagai penggerak penting degradasi dan 1.5 miliar orang bergantung lega tanah yang terdegradasi. Deforestasi, desertifikasi, erosi kapling, kehilangan takdir mineral, dan salinisasi adalah teladan buram kemerosotan lahan.[36]

Eutrofikasi adalah pertambahan populasi alga dan tumbuhan air di ekosistem perairan akibat persebaran vitamin berasal lahan pertanian. Hal ini mampu menyebabkan hilangnya kadar oksigen di air momen total alga dan pohon air yang antap dan membusuk di perairan bertambah dan dekomposisi terjadi. Hal ini berada menyebabkan fasad ikan, hilangnya keragaman hayati, dan menjadikan air tidak bisa digunakan sebagai air minum dan kebutuhan umum dan industri. Penggunaan pupuk berlebihan di lahan perladangan yang diikuti dengan revolusi air parasan kaya menyebabkan nutrisi di lahan pertanian terkikis dan mengalir terhibur menuju ke perairan terdekat. Gizi inilah yang menyebabkan eutrofikasi.[49]

Pertanian memanfaatkan 70% air mansukh yang diambil dari berbagai sumber di seluruh bumi.[50]
Pertanian memanfaatkan sebagian segara air di akuifer, bahkan mengambilnya dari saduran air kapling dalam lancar yang tidak dapat dikembalikan (unsustainable). Telah diketahui bahwa berbagai akuifer di berbagai tempat padat penduduk di seluruh marcapada, seperti China bagian utara, seputar Sungai Ganga, dan negeri barat Amerika Serikat, mutakadim berkurang jauh, dan penelitian mengenai ini sedang dilakukan di akuifer di Iran, Meksiko, dan Arab Saudi.[51]
Tekanan terhadap pelestarian air terus terjadi berusul sektor industri dan daerah urban yang terus mengambil air secara tidak lestari, sehingga perlombaan pengusahaan air bagi pertanian meningkat dan tantangan intern memproduksi bahan wana lagi demikian, terutama di kawasan yang langka air.[52]
Pengusahaan air di perladangan lagi dapat menjadi penyebab masalah lingkungan, tertulis hilangnya rawa, penyerantaan penyakit melalui air, dan deklinasi tanah seperti salinisasi lahan ketika irigasi tidak dilakukan dengan baik.[53]

Pestisida

[sunting
|
sunting sumber]

Penggunaan pestisida telah meningkat sejak tahun 1950-an, menjadi 2.5 juta ton per tahun di seluruh dunia. Tetapi tingkat kehilangan produksi pertanian teguh terjadi dalam besaran yang relatif konstan.[54]
WHO memperkirakan plong tahun 1992 bahwa 3 juta manusia intoksikasi pestisida setiap tahun dan menyebabkan kematian 200 ribu jiwa.[55]
Pestisida dapat menyebabkan resistansi pestisida plong populasi hama sehingga peluasan racun hama baru terus berlanjut.[56]

Argumen alernatif dari masalah ini adalah pestisida merupakan riuk suatu pendirian untuk meningkatkan produksi pangan pada lahan yang terbatas, sehingga boleh menumbuhkan kian banyak pohon pertanaman puas lahan nan lebih sempit dan memberikan ulas makin banyak bagi alam liar dengan mencegah perluasan lahan pertanian makin ekstensif.[57]
[58]
Sahaja berbagai celaan berkembang bahwa perluasan persil nan mengorbankan lingkungan karena peningkatan kebutuhan wana tidak boleh dihindari,[59]
dan racun hama hanya mengaplus praktik pertanian nan baik yang ada seperti rotasi pohon.[56]
Rotasi tanaman mencegah penumpukan hama yang setimpal puas suatu lahan sehingga hama diharapkan sirna setelah panen dan lain menclok pula karena tanaman nan ditanam tidak begitu juga yang sebelumnya.

Perubahan iklim

[sunting
|
sunting perigi]

Pertanian merupakan riuk satu nan mempengaruhi pergantian iklim, dan perubahan iklim memiliki dampak lakukan pertanian. Perubahan iklim memiliki pengaruh bikin perkebunan melampaui peralihan hawa, hujan (perubahan periode dan besaran), kadar karbon dioksida di udara, radiasi matahari, dan interaksi dari semua elemen tersebut.[36]
Peristiwa ekstrem seperti mana kehilangan dan banjir diperkirakan meningkat akibat pergantian iklim.[60]
Pertanian ialah sektor yang minimum rentan terhadap perubahan iklim. Suplai air akan menjadi hal yang kritis cak bagi menjaga produksi persawahan dan menyediakan sasaran pangan. Fluktuasi debit sungai akan terus terjadi akibat perubahan iklim. Negara di sekitar sungai Nil sudah mengalami dampak fluktuasi tagihan wai yang mempengaruhi hasil pertanian musiman yang berbenda mengurangi hasil pertanian hingga 50%.[61]
Pendekatan yang berkepribadian mengingkari diperlukan untuk mengelola mata air anak kunci standard pada futur, seperti perlintasan kebijakan, metode praktik, dan alat bagi mempromosikan pertanian berbasis iklim dan lebih banyak menunggangi permakluman ilmiah intern menganalisis risiko dan kerentanan akibat perubahan iklim.[62]
[63]

Pertanian dapat memitigasi sekaligus memperburuk pemanasan global. Beberapa dari pertambahan kadar karbonium dioksida di atmosfer marcapada dikarenakan dekomposisi materi organik nan mewah di kapling, dan sebagian ki akbar asap metanan nan dilepaskan ke atmosfer terbit mulai sejak aktivitas pertanian, tertera dekomposisi plong lahan basah perladangan seperti sawah,[64]
dan aktivitas digesti fauna peliharaan. Persil yang basah dan anaerobik mampu menyebabkan denitrifikasi dan hilangnya nitrogen dari kapling, menyebabkan lepasnya gas nitrat oksida dan nitro oksida ke gegana yang ialah gas apartemen beling.[65]
Perubahan metode manajemen persawahan gemuk mengurangi pelepasan asap rumah kaca ini, dan petak dapat difungsikan kembali ibarat fasilitas sekuestrasi karbon.[64]

Energi dan pertanian

[sunting
|
sunting perigi]

Sejak perian 1940, produktivitas pertanian meningkat secara bermanfaat dikarenakan penggunaan energi nan intensif dari aktivitas mekanisasi pertanian, pupuk, dan pestisida. Input energi ini sebagian besar berasal bersumber bahan bakar fosil.[66]
Distribusi Hijau menidakkan pertanian di seluruh dunia dengan kenaikan produksi biji-bijian secara berarti,[67]
dan sekarang pertanian modern membutuhkan input minyak bumi dan tabun kalimantang cak bagi sumber energi dan produksi pupuk. Telah terjadi kekhawatiran bahwa kelangkaan energi fosil akan menyebabkan tingginya biaya produksi perladangan sehingga mengurangi hasil pertanian dan kelangkaan alas.[68]

Proporsi konsumsi energi pada pertanian dan sistem pangan (%)
pada tiga negara bertamadun
Negara Waktu Pertanian
(secara berbarengan & tidak langsung)
Sistem
pangan
Britania Raya[69] 2005 1.9 11
Amerika Serikat dagang[70] 1996 2.1 10
Amerika Kongsi[71] 2002 2.0 14
Swedia[72] 2000 2.5 13

Negara industri bergantung pada objek bakar fosil secara dua hal, yaitu secara langsung dikonsumsi sebagai sumber energi di pertanian, dan secara bukan langsung umpama input untuk manufaktur pupuk dan racun hama. Konsumsi sekalian dapat mencakup penggunaan pelumas dalam konservasi permesinan, dan zalir penukar panas pada mesin kompor dan pendingin. Perkebunan di Amerika Sekutu mengkonsumsi sektar 1.2 eksajoule plong tahun 2002, yang yakni 1% berpokok total energi nan dikonsumsi di negara tersebut.[68]
Konsumsi tidak langsung yaitu sebagai manufaktur pupuk dan pestisida yang mengkonsumsi mangsa bakar sisa purba setara 0.6 eksajoule pada musim 2002.[68]

Gas alam dan batu bara yang dikonsumsi melampaui produksi pupuk nitrogen besarnya setara dengan sepenggal kebutuhan energi di pertanian. China mengkonsumsi bisikan bara untuk produksi baja nitrogennya, sedangkan sebagian besar negara di Eropa menggunakan gas alam dan hanya sebagian kecil batu bara. Beralaskan laporan pada masa 2010 yang dipublikasikan oleh The Royal Society, dependensi pertanian terhadap bahan bakar sisa purba terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Incaran bakar nan digunakan di pertanian dapat berbagai ragam tergantung pada sejumlah faktor seperti diversifikasi pokok kayu, sistem produksi, dan lokasi.[73]

Energi nan digunakan untuk produksi organ dan mesin pertanian lagi yakni salah satu bentuk pemanfaatan energi di perladangan secara enggak pangsung. Sistem alas mencengam lain hanya pada produksi perkebunan, namun juga pemrosesan pasca- hasil pertanian keluar pecah lahan gerakan tani, pengepakan, transportasi, pemasaran, konsumsi, dan pembuangan dan pengolahan sampah makanan. Energi yang digunakan plong sistem pangan ini lebih hierarki dibandingkan pemakaian energi plong produksi hasil pertanaman, dapat mengaras panca mungkin lipat.[70]
[71]

Pada tahun 2007, insentif nan lebih tinggi bagi petani penanam tanaman non-pangan penyelenggara biofuel[74]
ditambah dengan faktor lain seperti pemanfaatan kembali persil tidur nan rendah gemuk, kenaikan biaya transportasi, perubahan iklim, kenaikan kuantitas pemakai, dan peningkatan penduduk mayapada,[75]
menyebabkan kerentanan jenggala dan peningkatan harga pangan di beragam tempat di manjapada.[76]
[77]
Pada Desember 2007, 37 negara di dunia menghadapi krisis wana, dan 20 negara sudah menghadapi eskalasi harga pangan di luar kendali, nan dikenal dengan kasus ketegangan harga wana dunia 2007-2008. Kerusuhan akibat menuntut turunnya harga pangan terjadi di bermacam rupa tempat hingga menyebabkan mangsa atma.[13]
[14]
[15]

Mitigasi kelangkaan bahan bakar fosil

[sunting
|
sunting perigi]

Perincian M. King Hubbert mengenai lampias produksi bensin dunia. Pertanian modern sangat bergantung pada energi sisa purba ini.[78]

Pada kelangkaan alamat bakar sisa purba, pertanian organik akan bertambah diprioritaskan dibandingkan dengan pertanian resmi yang menggunakan begitu banyak input berbasis minyak dunia seperti rabuk dan pestisida. Beraneka rupa pengkhususan tentang pertanian organik berbudaya menunjukan bahwa hasil pertanian organik sama besarnya dengan perkebunan protokoler.[79]
Kuba pasca runtuhnya Yunda Soviet mengalami kelangkaan input cendawan dan pestisida kimia sehingga usaha pertanian di negeri tersebut menggunakan praktik organik dan mampu memberi makan populasi penduduknya.[80]
Namun pertanian organik akan membutuhkan lebih banyak fungsionaris dan jam kerja.[81]
Perpindahan dari praktik monokultur ke persawahan organik juga membutuhkan waktu, terutama pengkondisian petak[79]
bakal membersihkan bahan kimia berbahaya yang enggak sesuai dengan standar bahan pangan organik.

Komunitas pedesaan bisa memanfaatkan biochar dan synfuel yang memperalat limbah pertanian bakal tergarap menjadi pupuk dan energi, sehingga bisa mendapatkan bahan bakar dan bahan pangan sekaligus, dibandingkan dengan persaingan incaran alas vs bahan bakar yang masih terjadi sebatas momen ini. Synfuel dapat digunakan di palagan; prosesnya akan bertambah efisien dan mampu menghasilkan incaran bakar yang layak untuk seluruh aktivitas perladangan organik.[82]
[83]

Detik bahan hutan termodifikasi genetik (GMO) masih dikritik karena mani yang dihasilkan berperangai steril sehingga bukan mampu direproduksi oleh petani[84]
[85]
dan hasilnya dianggap berbahaya untuk manusia, telah diusulkan sepatutnya tanaman jenis ini dikembangkan lebih lanjut dan digunakan sebagai penyusun alamat bakar, karena tanaman ini mampu dimodifikasi untuk menghasilkan makin banyak dengan input energi nan lebih sedikit.[86]
Namun perusahaan utama penyelenggara GMO sendiri, Monsanto, tidak rani melaksanakan proses produksi pertanian berkelanjutan dengan tumbuhan GMO lebih berpokok satu tahun. Di ketika yang bersamaan, praktik pertanian dengan memanfaatkan ras tradisional menghasilkan bertambah banyak pada jenis tanaman yang sama dan dilakukan secara berkelanjutan.[87]

Ekonomi pertanian

[sunting
|
sunting sumber]

Ekonomi pertanian adalah aktivitas ekonomi nan terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi produk dan jasa perkebunan.[88]
Mengkombinasikan produksi perkebunan dengan teori umum mengenai pemasaran dan bisnis adalah sebuah ketaatan mantra yang dimulai sejak akhir abad ke 19, dan terus bertumbuh sepanjang abad ke-20.[89]
Meski studi tentang pertanian terbilang baru, majemuk tren terdahulu di bidang pertanaman seperti sistem kerjakan hasil pasca Perang Saudara Amerika Konsorsium hingga sistem feodal nan pernah terjadi di Eropa, telah secara berharga mempengaruhi aktivitas ekonomi suatu negara dan juga dunia.[90]
[91]
Di berbagai tempat, harga pangan yang dipengaruhi makanya pemrosesan hutan, distribusi, dan pemasaran pertanian sudah lalu tumbuh dan biaya harga jenggala nan dipengaruhi oleh aktivitas pertanian di atas tanah sudah lalu jauh memendek efeknya. Hal ini tersapu dengan efisiensi yang begitu pangkat privat bidang pertanian dan dikombinasikan dengan peningkatan skor tambah melalui pemrosesan objek hutan dan garis haluan pemasaran. Konsentrasi pasar pula telah meningkat di sektor ini yang boleh meningkatkan efisiensi. Cuma perlintasan ini kreatif mengakibatkan pemindahan surplus ekonomi bermula produsen (petani) ke konsumen, dan memiliki dampak nan negatif bagi kekerabatan pedesaan.[92]

Digitalisasi perlu buat merespon keterbatasan sida-sida dan pula meningkatkan kesangkilan yang mampu meningkatkan produktivitas jual beli, value, produk dan konsumen bau kencur men-distruptive teknologi budidaya stereotip. Baik selama proses malah hingga memasarkan komoditas pertanian, digitalisasi begitu efisien. Perlahan, para petani tidak keruh teknologi digital, dan bahkan dapat meningkatkan produkvitas sektor pertanian, hal ini pasti masih banyak tugas untuk mewujudkan petani menjadi peladang digital.[93]

Ketatanegaraan pemerintah suatu negara dapat mempengaruhi secara berfaedah pasar barang pertanian, dalam rang belas kasih pajak, subsidi, tarif, dan bea lainnya.[94]
Sejak tahun 1960-an, asosiasi pembatasan ekspor impor, ketatanegaraan ponten tukar, dan subsidi mempengaruhi pertanian di negara berkembang dan negara maju. Pada tahun 1980-an, para petani di negara berkembang nan tak mendapatkan subsidi akan kalah bersaing dikarenakan kebijakan di bervariasi negara yang menyebabkan rendahnya harga bahan hutan. Di antara waktu 1980-an dan 2000-an, sejumlah negara di mayapada mewujudkan lega hati cak bagi membatasi tarif, subsidi, dan batasan perkulakan lainnya yang diberlakukan di mayapada perladangan.[95]

Namun lega tahun 2009, masih terdapat sejumlah distorsi kebijakan pertanian yang mempengaruhi harga bahan pangan. Tiga komoditas yang lalu ki terdorong adalah gula, payudara, dan beras, nan terutama karena pemberlakuan pajak. Wijen merupakan nilai-bijian produsen patra yang dijalari fiskal paling kecil tinggi meski masih lebih tekor dibandingkan pajak komoditas peternakan.[96]
Doang subsidi kapas masih terjadi di negara maju nan sudah lalu menyebabkan rendahnya harga di tingkat dunia dan menekan petani kapas di negara berkembang yang tidak disubsidi.[97]
Komoditas bau kencur seperti jagung dan daging sapi biasanya diharga beralaskan kualitasnya, dan kualitas menentukan harga. Dagangan yang dihasilkan di suatu kawasan dilaporkan dalam tulang beragangan volume produksi atau jarang.[98]

Lihat pula

[sunting
|
sunting mata air]

  • Pengairan
  • FAO
  • Daftar perhimpunan pertanian di Indonesia

Bacaan

[sunting
|
sunting sumber]


  1. ^



    Safety and health in agriculture. International Labour Organization. 1999. ISBN 978-92-2-111517-5. Diakses tanggal
    13 September
    2010
    .





  2. ^


    Harahap, Fitra Syawal (2021).
    Bawah-dasar Agronomi Pertanian. Mitra Cendekia Media. hlm. 2. ISBN 9786236957851.





  3. ^


    Lamangida, Saiman (2021). “DEKAN HADIRI PENANDA TANGANAN IMPLEMENTASI KERJASAMA JURUSAN PETERNAKAN DENGAN DINAS PERTANIAN PROVINSI GORONTALO”.
    ung.ac.id
    . Diakses sungkap
    2022-01-04
    .





  4. ^


    Douglas John McConnell (2003).
    The Forest Farms of Kandy: And Other Gardens of Complete Design. hlm. 1. ISBN 978-0-7546-0958-2.





  5. ^


    Douglas John McConnell (1992).
    The forest-garden farms of Kandy, Sri Lanka. hlm. 1. ISBN 978-92-5-102898-8.





  6. ^


    “Kucing Peliharaan Tertua di Dunia Ditemukan”. Kompas. 17 Desember 2013.




  7. ^


    Hancock, James F. (2012).
    Plant evolution and the origin of crop species
    (edisi ke-3rd). CABI. hlm. 119. ISBN 1845938011.





  8. ^


    UN Industrial Development Organization, International Fertilizer Development Center (1998).
    The Fertilizer Manual
    (edisi ke-3rd). Springer. hlm. 46. ISBN 0792350324.





  9. ^


    Scheierling, Susanne M. (1995). “Overcoming agricultural pollution of water : the challenge of integrating agricultural and environmental policies in the European Union, Volume 1”. The World Bank. Diarsipkan dari versi zakiah terlepas 2013-06-05. Diakses tanggal
    2013-04-15
    .





  10. ^


    “Logo Reform”. European Commission. 2003. Diakses terlepas
    2013-04-15
    .





  11. ^


    “At Tyson and Kraft, Grain Costs Limit Profit”.
    The New York Times. Bloomberg. 6 September 2007.





  12. ^


    McMullen, Alia (7 January 2008). “Forget oil, the new menyeluruh crisis is food”.
    Financial Post. Toronto. Diarsipkan berpunca versi polos tanggal 2013-11-13. Diakses tanggal
    2013-11-13
    .




  13. ^


    a




    b



    Watts, Jonathan (4 December 2007). “Riots and hunger feared as demand for grain sends food costs soaring”,
    The Guardian
    (London).
  14. ^


    a




    b



    Mortished, Carl (7 March 2008).”Already we have riots, hoarding, panic: the sign of things to come?”,
    The Times
    (London).
  15. ^


    a




    b



    Borger, Julian (26 February 2008). “Feed the world? We are fighting a losing battle, UN admits”,
    The Guardian
    (London).

  16. ^


    “Food prices: smallholder farmers can be part of the solution”. International Fund for Agricultural Development. Diarsipkan terbit versi kudrati tanggal 2013-05-05. Diakses tanggal
    2013-04-24
    .





  17. ^

    McKie, Robin; Rice, Xan (22 April 2007). “Millions face famine as crop disease rages”,
    The Observer’ (London).

  18. ^


    Mackenzie, Debora (3 April 2007). “Billions at risk from wheat super-blight”.
    New Scientist. London (2598): 6–7. Diarsipkan dari varian salih rontok 2007-05-09. Diakses tanggal
    19 April
    2007
    .





  19. ^


    Leonard, K.J. (February 2001). “Black stem rust biology and threat to wheat growers”. USDA Agricultural Research Service. Diakses tanggal
    2013-04-22
    .





  20. ^

    Sample, Ian (31 August 2007). “Menyeluruh food crisis looms as climate change and population growth strip fertile land”,
    The Guardian
    (London).

  21. ^

    “Africa may be able to feed only 25% of its population by 2025”,
    mongabay.com, 14 December 2006.

  22. ^


    “Agricultural Productivity in the United States”. USDA Economic Research Service. 5 July 2012. Diarsipkan berpangkal versi lugu tanggal 2013-02-01. Diakses sungkap
    2013-04-22
    .





  23. ^

    “The Food Bubble Economy”.
    The Institute of Science in Society.

  24. ^


    Brown, Lester R. “Global Water Shortages May Lead to Food Shortages-Aquifer Depletion”. Diarsipkan dari versi kalis tanggal 2010-07-24. Diakses tanggal
    2013-11-13
    .





  25. ^


    “India grows a grain crisis”.
    Asia Times (Hong Kong). 21 July 2006. Diarsipkan pecah versi polos tanggal 2018-02-21. Diakses tanggal
    2013-11-13
    .




  26. ^


    a




    b




    c




    “Safety and health in agriculture”. International Labour Organization. 21 March 2011. Diakses tanggal
    2013-04-24
    .





  27. ^


    AP (26 January 2007). “Services sector overtakes farming as world’s biggest employer: ILO”. The Financial Express. Diakses sungkap
    2013-04-24
    .




  28. ^


    a




    b




    “Labor Force – By Occupation”.
    The World Factbook. Central Intelligence Agency. Diarsipkan berpangkal versi kudus sungkap 2014-05-22. Diakses rontok
    2013-05-04
    .





  29. ^


    Allen, Robert C. “Economic structure and agricultural productivity in Europe, 1300–1800”
    (PDF).
    European Review of Economic History.
    3: 1–25. Diarsipkan dari versi nirmala
    (PDF)
    tanggal 2014-10-27. Diakses terlepas
    2013-11-13
    .





  30. ^


    “NIOSH Workplace Safety & Health Topic: Agricultural Injuries”. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses copot
    2013-04-16
    .





  31. ^


    “NIOSH Pesticide Poisoning Monitoring Program Protects Farmworkers”. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses tanggal
    2013-04-15
    .




  32. ^


    a




    b




    “NIOSH Workplace Safety & Health Topic: Agriculture”. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses tanggal
    2013-04-16
    .





  33. ^


    “Agriculture: A hazardous work”. International Labour Organization. 15 June 2009. Diakses tanggal
    2013-04-24
    .





  34. ^


    “Analysis of farming systems”. Food and Agriculture Organization. Diakses copot
    2013-05-22
    .




  35. ^


    a




    b



    Acquaah, G. 2002. Agricultural Production Systems. pp. 283–317 in “Principles of Crop Production, Theories, Techniques and Technology”. Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ.
  36. ^


    a




    b




    c




    d




    e




    f



    Chrispeels, M.J.; Sadava, D.E. 1994. “Farming Systems: Development, Productivity, and Sustainability”. pp. 25–57 in
    Plants, Genes, and Agriculture. Jones and Bartlett, Boston, MA.
  37. ^


    a




    b




    c




    Sere, C.; Steinfeld, H.; Groeneweld, J. (1995). “Description of Systems in World Livestock Systems – Current status issues and trends”. U.N. Food and Agriculture Organization. Diarsipkan dari versi nirmala sungkap 2012-10-26. Diakses copot
    2013-09-08
    .




  38. ^


    a




    b




    Thornton, Philip K. (27 September 2010). “Livestock production: recent trends, future prospects”.
    Philosophical Transactions of the Porah Society B.
    365
    (1554). doi:10.1098/rstb.2010.0134.





  39. ^


    Stier, Ken (September 19, 2007). “Fish Farming’s Growing Dangers”.
    Time.





  40. ^


    P. Ajmone-Marsan (May 2010). “A global view of livestock biodiversity and conservation – GLOBALDIV”.
    Animal Genetics.
    41
    (supplement S1): 1–5. doi:10.1111/j.1365-2052.2010.02036.x.





  41. ^


    “Growth Promoting Hormones Pose Health Risk to Consumers, Confirms EU Scientific Committee”
    (PDF). European Union. 23 April 2002. Diakses tanggal
    2013-04-06
    .




  42. ^


    a




    b




    Pretty, J; et al. (2000). “An assessment of the total external costs of UK agriculture”.
    Agricultural Systems.
    65
    (2): 113–136. doi:10.1016/S0308-521X(00)00031-7.




  43. ^


    a




    b




    Tegtmeier, E.M.; Duffy, M. (2005). “External Costs of Agricultural Production in the United States”
    (PDF).
    The Earthscan Reader in Sustainable Agriculture.





  44. ^


    International Resource Panel (2010). “Priority products and materials: assessing the environmental impacts of consumption and production”. United Nations Environment Programme. Diarsipkan dari versi kudus terlepas 2012-12-24. Diakses tanggal
    2013-05-07
    .





  45. ^


    “Livestock a major threat to environment”. UN Food and Agriculture Organization. 29 November 2006. Diarsipkan berpangkal versi kudus tanggal 2008-03-28. Diakses rontok
    2013-04-24
    .





  46. ^


    Steinfeld, H.; Gerber, P.; Wassenaar, Tepi langit.; Castel, V.; Rosales, M.; de Haan, C. (2006). “Livestock’s Long Shadow – Environmental issues and options”
    (PDF). Rome: U.N. Food and Agriculture Organization. Diarsipkan pecah varian asli
    (PDF)
    sungkap 2008-06-25. Diakses rontok
    5 December
    2008
    .





  47. ^


    Vitousek, P.M.; Mooney, H.A.; Lubchenco, J.; Melillo, J.M. (1997). “Human Domination of Earth’s Ecosystems”.
    Science.
    277: 494–499.





  48. ^


    Bai, Z.G., D.L. Dent, L. Olsson, and M.E. Schaepman (November 2008). “Global assessment of land degradation and improvement 1:identification by remote sensing”
    (PDF). FAO/ISRIC. Diarsipkan bermula versi asli
    (PDF)
    tanggal 2013-12-13. Diakses tanggal
    2013-05-24
    .





  49. ^


    Carpenter, S.R., N.F. Caraco, D.L. Correll, R.W. Howarth, A.N. Sharpley, and V.H. Smith (1998). “Nonpoint Pollution of Surface Waters with Phosphorus and Nitrogen”.
    Ecological Applications.
    8
    (3): 559–568. doi:10.1890/1051-0761(1998)008[0559:NPOSWW]2.0.CO;2.





  50. ^


    Molden, D. (ed.). “Findings of the Comprehensive Assessment of Water Management in Agriculture”.
    Annual Report 2006/2007. International Water Management Institute. Diakses tanggal
    2013-05-07
    .





  51. ^


    Li, Sophia (13 August 2012). “Stressed Aquifers Around the Globe”. New York Times. Diakses tanggal
    2013-05-07
    .





  52. ^


    “Water Use in Agriculture”. FAO. November 2005. Diarsipkan dari varian kudrati tanggal 2013-06-15. Diakses tanggal
    2013-05-07
    .





  53. ^


    “Water Management: Towards 2030”. FAO. March 2003. Diarsipkan bermula versi zakiah sungkap 2013-05-10. Diakses tanggal
    2013-05-07
    .





  54. ^


    Pimentel, D. T.W. Culliney, and T. Bashore (1996.). “Public health risks associated with pesticides and natural toxins in foods”.
    Radcliffe’s IPM World Textbook. Diarsipkan berbunga versi asli terlepas 1999-02-18. Diakses tanggal
    2013-05-07
    .





  55. ^

    WHO. 1992. Our satelit, our health: Report of the WHU commission on health and environment. Geneva: World Health Organization.
  56. ^


    a




    b



    Chrispeels, M.J. and D.E. Sadava. 1994. “Strategies for Pest Control” pp.355–383 in
    Plants, Genes, and Agriculture. Jones and Bartlett, Boston, MA.

  57. ^


    Avery, D.Tepi langit. (2000).
    Saving the Planet with Pesticides and Plastic: The Environmental Triumph of High-Yield Farming. Indianapolis, IN: Hudson Institute.





  58. ^


    “Home”. Center for Global Food Issues. Diakses terlepas
    2013-05-24
    .





  59. ^

    Lappe, F.M., J. Collins, and P. Rosset. 1998. “Myth 4: Food vs. Our Environment” pp. 42–57 in
    World Hunger, Twelve Myths, Grove Press, New York.

  60. ^


    Harvey, Fiona (18 November 2011). “Extreme weather will strike as climate change takes hold, IPCC warns”.
    The Guardian.





  61. ^


    “Report: Blue Peace for the Nile”
    (PDF). Strategic Foresight Group. Diakses tanggal
    2013-08-20
    .





  62. ^


    “World: Pessimism about future grows in agribusiness”. Diarsipkan bermula versi tahir copot 2013-11-10. Diakses tanggal
    2013-11-17
    .





  63. ^


    “SREX: Lessons for the agricultural sector”. Climate & Development Knowledge Network. Diakses tanggal
    2013-05-24
    .




  64. ^


    a




    b



    Brady, N.C. and R.R. Weil. 2002. “Soil Organic Matter” pp. 353–385 in
    Elements of the Nature and Properties of Soils. Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ.

  65. ^

    Brady, N.C. and R.R. Weil. 2002. “Nitrogen and Sulfur Economy of Soils” pp. 386–421 in
    Elements of the Nature and Properties of Soils. Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ.

  66. ^

    “World oil supplies are set to run out faster than expected, warn scientists”.
    The Independent. 14 June 2007.

  67. ^


    Robert W. Herdt (30 May 1997). “The Future of the Green Revolution: Implications for International Grain Markets”
    (PDF). The Rockefeller Foundation. hlm. 2. Diarsipkan dari versi zakiah
    (PDF)
    rontok 2012-10-19. Diakses rontok
    2013-04-16
    .




  68. ^


    a




    b




    c




    Schnepf, Randy (19 November 2004). “Energy use in Agriculture: Background and Issues”
    (PDF).
    CRS Report for Congress. Congressional Research Service. Diarsipkan dari versi asli
    (PDF)
    rontok 2013-09-27. Diakses tanggal
    2013-09-26
    .





  69. ^


    Rebecca White (2007). “Carbon governance from a systems perspective: an investigation of food production and consumption in the UK”
    (PDF). Oxford University Center for the Environment. Diarsipkan berasal versi kudus
    (PDF)
    tanggal 2011-07-19. Diakses tanggal
    2013-11-17
    .




  70. ^


    a




    b




    Martin Heller and Gregory Keoleian (2000). “Life Cycle-Based Sustainability Indicators for Assessment of the U.S. Food System”
    (PDF). University of Michigan Center for Sustainable Food Systems. Diarsipkan berpokok versi kudus
    (PDF)
    copot 2016-03-14. Diakses sungkap
    2013-11-17
    .




  71. ^


    a




    b




    Patrick Canning, Ainsley Charles, Sonya Huang, Karen R. Polenske, and Arnold Waters (2010). “Energy Use in the U.S. Food System”.
    USDA Economic Research Service Report No. ERR-94. United States Department of Agriculture. Diarsipkan berpangkal versi asli sungkap 2010-09-18. Diakses tanggal
    2013-11-17
    .





  72. ^


    Wallgren, Christine; Höjer, Mattias (2009). “Eating energy—Identifying possibilities for reduced energy use in the future food supply system”.
    Energy Policy.
    37
    (12): 5803–5813. doi:10.1016/j.enpol.2009.08.046. ISSN 0301-4215.





  73. ^


    Jeremy Woods, Adrian Williams, John K. Hughes, Mairi Black and Richard Murphy (August 2010). “Energy and the food system”.
    Philosophical Transactions of the Boros Society.
    365
    (1554): 2991–3006. doi:10.1098/rstb.2010.0172.





  74. ^


    Smith, Kate; Edwards, Rob (8 March 2008). “2008: The year of global food crisis”.
    The Herald. Glasgow.





  75. ^


    “The mendunia grain bubble”.
    The Christian Science Monitor. 18 January 2008. Diarsipkan dari versi kalis copot 2009-11-30. Diakses terlepas
    2013-09-26
    .





  76. ^


    “The cost of food: Facts and figures”. BBC News Online. 16 October 2008. Diakses sungkap
    2013-09-26
    .





  77. ^


    Walt, Vivienne (27 February 2008). “The World’s Growing Food-Price Crisis”.
    Time. Diarsipkan dari versi kudus sungkap 2011-11-29. Diakses sungkap
    2013-11-17
    .





  78. ^


    “World oil supplies are set to run out faster than expected, warn scientists”.
    The Independent. 14 June 2007.




  79. ^


    a




    b




    “Can Sustainable Agriculture Really Feed the World?”. University of Minnesota. August 2010. Diarsipkan dari varian salih tanggal 2016-04-25. Diakses copot
    2013-04-15
    .





  80. ^


    “Cuban Organic Farming Experiment”. Harvard School of Public Health. Diarsipkan berasal versi ikhlas tanggal 2013-05-01. Diakses tanggal
    2013-04-15
    .





  81. ^


    Strochlic, R.; Sierra, L. (2007). “Conventional, Mixed, and “Deregistered” Organic Farmers: Entry Barriers and Reasons for Exiting Organic Production in California”
    (PDF). California Institute for Rural Studies. Diakses tanggal
    2013-04-15
    .





  82. ^


    P. Read (2005). “Carbon cycle management with increased photo-synthesis and long-term sinks”
    (PDF).
    Geophysical Research Abstracts.
    7: 11082.





  83. ^


    Greene, Nathanael (December 2004). “How biofuels can help end America’s energy dependence”. Biotechnology Industry Organization.




  84. ^


    R. Pillarisetti and Kylie Radel (2004). “Economic and Environmental Issues in International Trade and Production of Genetically Modified Foods and Crops and the WTO”.
    19
    (2). Journal of Economic Integration: 332–352.





  85. ^


    Conway, G. (2000). “Genetically modified crops: risks and promise”. 4(1): 2. Conservation Ecology.




  86. ^


    Srinivas (2008). “Reviewing The Methodologies For Sustainable Living”.
    7. The Electronic Journal of Environmental, Agricultural and Food Chemistry.





  87. ^


    “Monsanto failure”.
    New Scientist.
    181
    (2433). London. 7 February 2004. Diakses tanggal
    18 April
    2008
    .





  88. ^


    “Agricultural Economics”. University of Idaho. Diarsipkan semenjak versi asli tanggal 2013-04-01. Diakses tanggal
    2013-04-16
    .





  89. ^


    Runge, C. Ford (June 2006). “Agricultural Economics: A Brief Intellectual History”
    (PDF). Center for International Food and Agriculture Policy. hlm. 4. Diakses tanggal
    2013-09-16
    .





  90. ^


    Conrad, David E. “Tenant Farming and Sharecropping”.
    Encyclopedia of Oklahoma History and Culture. Oklahoma Historical Society. Diarsipkan pecah versi asli copot 2013-05-27. Diakses rontok
    2013-09-16
    .





  91. ^


    Stokstad, Marilyn (2005).
    Medieval Castles. Greenwood Publishing Group. ISBN 0313325251.





  92. ^


    Sexton, R.J. (2000). “Industrialization and Consolidation in the US Food Sector: Implications for Competition and Welfare”.
    American Journal of Agricultural Economics.
    82
    (5): 1087–1104. doi:10.1111/0002-9092.00106.





  93. ^


    Novalius, Feby (8 Januari 2019). “Digitalisasi Pertanian Bakir Tingkatkan Produksi hingga Tekan Biaya Pemasaran”.
    Okezone
    . Diakses tanggal
    12 Oktober
    2020
    .





  94. ^


    Peter J. Lloyd, Johanna L. Croser, Kym Anderson (March 2009). “How Do Agricultural Policy Restrictions to Universal Trade and Welfare Differ Across Commodities”
    (PDF).
    Policy Research Working Paper #4864. The World Bank. hlm. 2–3. Diakses terlepas
    2013-04-16
    .





  95. ^


    Kym Anderson and Ernesto Valenzuela (April 2006). “Do Global Trade Distortions Still Harm Developing Country Farmers?”
    (PDF).
    World Bank Policy Research Working Paper 3901. World Bank. hlm. 1–2. Diakses tanggal
    2013-04-16
    .





  96. ^


    Peter J. Lloyd, Johanna L. Croser, Kym Anderson (March 2009). “How Do Agricultural Policy Restrictions to Global Trade and Welfare Differ Across Commodities”
    (PDF).
    Policy Research Working Paper #4864. The World Bank. hlm. 21. Diakses tanggal
    2013-04-16
    .





  97. ^


    Glenys Kinnock (24 May 2011). “America’s $24bn subsidy damages developing world cotton farmers”. The Guardian. Diakses copot
    2013-04-16
    .





  98. ^


    “Agriculture’s Bounty”
    (PDF). May 2013. Diakses tanggal
    2013-08-19
    .




Pranala luar

[sunting
|
sunting sumber]

  • (Indonesia)
    Departemen Pertanian Republik Indonesia Diarsipkan 2007-02-03 di Wayback Machine.
  • (Inggris)
    Organisasi Rimba dan Pertanaman PBB
  • (Inggris)
    Kementerian Persawahan AS Diarsipkan 2008-07-08 di Wayback Machine.



Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian

Posted by: holymayhem.com