Sejarah Tanaman Rempah Dan Obat
Beberapa rempah-rempah bawah Indonesia perumpamaan penawar maupun bumbu masakan.
Rempah-rempah
adalah bagian tumbuhan yang berbau atau berasa kuat nan digunakan dalam kuantitas mungil di makanan andai pengawet atau perisa kerumahtanggaan masakan. Rempah-rempah rata-rata dibedakan dengan tanaman tidak yang digunakan untuk maksud yang mirip, seperti mana pohon obat, sayuran beraroma, dan biji zakar kering.
Rempah-rempah merupakan barang barang minimum berharga lega zaman prakolonial. Banyak rempah-rempah dulunya digunakan privat penyembuhan, tetapi sekarang ini berkurang.
Rempah-rempah adalah salah satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku di Indonesia. Rempah-rempah ini pula yang menyebabkan Belanda kemudian menyusul ke Maluku, padahal, nasion Spanyol di bawah bimbingan Magellan telah lebih lewat mengejar perkembangan ke Timur melewati urut-urutan lain merupakan melewati samudera Pasifik dan jadinya mendarat di pulau Luzon, Filipina.
Sejumlah daerah penghasil rempah-rempah terpenting di dunia ialah India, Zanzibar, dan Kepulauan Maluku. Tetapi kebanyakan negara di dunia mengimpor rempah-rempah dari India karena India merupakan trik rempah-rempah terbesar di dunia.
Ki kenangan
[sunting
|
sunting sumur]
Memori awal
[sunting
|
sunting sendang]
Perkulakan rempah-rempah di subbenua India dimulai setidaknya plong periode 2000 Sebelum Masehi (SM)[1]
dengan memperdagangkan tiang manis dan lada hitam, sementara bangsa Asia Timur mendistribusikan herba dan merica. Praktik mumifikasi dan kebutuhan bukan Bangsa Mesir Kuno menunda terjadinya bursa antarnegara. Sampai 1000 SM, penyembuhan kedokteran berbasis herba mulai digunakan di Tiongkok, Korea, dan India. Selain itu, rempah-rempah awalnya sekali lagi digunakan bakal kepentingan upacara, agama, dan tradisi.[2]
Cengkih telah digunakan makanya Bangsa Mesopotamia lega 1700 SM.[tulisan 1]
Bangsa Romawi Historis menggunakan cengkih pada abad purwa Masehi, dibuktikan dengan garitan Pilinius Jompo tentang rempah-rempah tersebut. Papirus Ebers bertanggal 1550 SM.
bermula Mesir Kuno menjelaskan delapan dupa prosedur pengobatan kedokteran menggunakan herba.[4]
Pedagang dari Indonesia mendistribusikan rempah-rempah, termaktub pala,[5]
ke Tiongkok, India, Timur Perdua, hingga pesisir timur Afrika, provisional pengembara Arab membawa rempah-rempah dari timur ke Eropa bakal diperdagangkan. Kejadian ini menyebabkan Kota Iskandariyah (Alexandria) di Mesir menjadi kota dermaga nan terdahulu n domestik ekspor impor rempah-rempah dunia saat itu. Ditemukannya angin muson menyebabkan rute perdagangan beralih dari yang tadinya melalui jalur darat menjadi kolek laut.[6]
Abad Pertengahan
[sunting
|
sunting sumber]
“The Mullus” nan tengah menuai rempah-rempah. Ilustrasi tersebut berbunga dari edisi bahasa Prancis bersumber
The Travels of Marco Polo.
Rempah-rempah merupakan keseleo satu komoditas paling mahal dan diminati pada Abad Medio,[7]
dengan komoditas minimum publik ialah lada hitam, kayu manis (beserta alternatifnya, cassia), jintan putih, pala, jahe, dan cengkih. Berkaitan dengan teori utama dalam bumi kedokteran abad medio, humoralisme, rempah-rempah dan herba dianggap penting internal menyejajarkan “kejenakaan” kerumahtanggaan rezeki.[8]
Selain digunakan privat kedokteran abad pertengahan, suku bangsa elit Eropa juga menggemari rempah-rempah. Salah satu contohnya yaitu Tuanku Aragon yang mencurahi banyak sumber daya cak bagi membawa rempah-rempah ke Spanyol pada abad ke-12. Ia bukanlah satu-satunya monarki Eropa yang mencari rempah-rempah dengan intensi buat ditambahkan ke dalam minuman anggur.[9]
Sebagian besar rempah-rempah diimpor dari Asia dan Afrika sehingga harganya memadai mahal. Sejak abad ke-8 setakat ke-15, Republik Venesia melakukan monopoli atas perdagangan rempah-rempah dengan Timur Tengah,[10]
bersama republik maritim dan kota-kota bukan di Italia. Perdagangan tersebut membentuk wilayah Venesia dan sekitarnya kaya. Diperkirakan sebanyak 1.000 ton cili dan 1.000 ton rempah-rempah lain diimpor menghadap Eropa Barat selama Abad Pertengahan Penutup. Komoditas ini punya nilai yang ekuivalen dengan kredit-bijian untuk 1,5 juta orang.[11]
Rempah-rempah paling eksklusif detik itu ialah safron yang digunakan sebagai perasa dan pewarna abang kekuningan tembolok.[11]
Kegunaan
[sunting
|
sunting sumber]
Duli cabai, biji sesawi, bubuk kunir, dan biji jintan murni
Khasiat terdahulu rempah-rempah adalah bagaikan perasa makanan. Rempah-rempah juga digunakan sebagai bahan jamak parfum kosmetik dan dupa.[12]
Sejak awal ditemukan, rempah-rempah kembali menjadi riuk suatu hal penting dalam pengobatan medis. Sifatnya nan mahal, langka, dan eksoktik seringkali dikaitkan sebagai tanda baca khazanah dan kelas sosial.[13]
Pewarna makanan
[sunting
|
sunting perigi]
Selain memberikan aroma, rasa, dan tekstur pada lambung, rempah-rempah sekali lagi berfungsi sebagai zat warna standard (natural dyes) yang enggak menyerahkan efek samping bagi manusia. Beberapa rempah-rempah yang punya kebaikan seumpama pewarna alami yaitu anak uang safron, paprika, kunyit, dan kesumba keling. Pada anak uang safron terdapat kandungan fusi aktif merupakan crocin dan crocetin yang mampu menghasilkan warna alami kuning-jingga.[14]
Warna asfar-jingga juga dihasilkan pecah kunyit yang memiliki kandungan pigmen warna kurkuminoid dengan senyawa kurkumin.[15]
Merah menyala keling kembali dapat memberikan dandan merah bata karena bijinya memiliki lambung zat pigmen warna yaitu senyawa bixin.[16]
Di Amerika, paprika sekali lagi digunakan sebagai pencelup perut, sebagaimana sari buah jeruk, keju, saos, hingga kuning telur. Namun, cak bagi eksploitasi safron ibarat zat pewarna terlampau kurang karena tingginya harga rempah-rempah tersebut. Sehingga di beberapa negara mengganti penggunaan safron dengan bunga safflower bak zat pewarna.[17]
Klaim pengawetan rezeki
[sunting
|
sunting mata air]
Terdapat klaim populer yang menyatakan bahwa rempah-rempah boleh digunakan untuk mengawetkan perut atau menyembunyikan rasa daging yang mutakadim busuk.[18]
Klaim ini terbit pada awal tahun 1500, ketika belum adanya teknologi lemari es untuk mengawetkan nafkah. Di bilang negara begitu juga Yunani, mereka menggunakan kucai putih untuk mencegah kebusukan sreg alat pencernaan. Begitupun juga di India, menggunakan jahe, dasun putih, kunyit dan cengkih lakukan mengawetkan daging dan lauk.[19]
Proses mumifikasi pada mesir kuno juga menunggangi rempah-rempah sebagaimana gawang manis srilangka, sumber akar putih, dan jinten sarui.[20]
Faktanya, rempah-rempah enggak cukup efektif buat mengawetkan makanan, dibandingkan dengan pengasinan, pengasaman, pengasapan, dan pengeringan, serta tidak efektif dalam menyembunyikan rasa daging basi.[21]
Selain itu, harga rempah-rempah tergolong mahal. Pada abad ke-15 di Oxford, harga seekor babi sebagai halnya satu pon cabai, rempah-rempah minimum murah rasi itu.[21]
Michael Krondl internal bukunya menggambar bahwa “buku masakan lama dengan jelas menunjukkan bahwa rempah-rempah tidak digunakan andai pengawet. Kunci-daya tersebut lazimnya menyarankan penyisipan rempah-rempah di intiha proses pemasakan, yang mana bukan dimaksudkan sebagai pengawet.” Lega abad ke-16, Cristoforo di Messisbugo menganggap penambahan lada justru boleh mempersering pembusukan.[22]
Tetapi, eksploitasi rempah-rempah sebagai pengawet rezeki akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan variasi rempah-rempah lainnya. Kejadian ini karena mikroorganisme nan beragam pada setiap makanan takhlik tidak semua bibit penyakit cocok dengan satu jenis rempah-rempah.[23]
Penghambat pertumbuhan bakteri
[sunting
|
sunting sumber]
Rempah-rempah juga berfungsi perumpamaan zat antimikroba alami yang mampu menekan pertumbuhan bakteri. Lega eksplorasi sebelumnya, ditemukan bahwa larutan dasun tahir mampu melawan kuman begitu juga
Escherichia Coli, Salmonella, Aeromonas hydrophila.[24]
Hal ini sekali lagi berlaku sreg ekstrak jahe nan berharta membunuh mikroba
Escherichia Masturbasi.
[25]
Selain itu, rempah-rempah seperti cengkih, oregano, daun timi, kayu manis, dan jinten juga berlambak menahan pertumbuhan beberapa diversifikasi bakteri.[26]
Berangkat berpangkal bakteri penyebab kebusukan pada makanan begitu juga
Bacillus subtilis
dan
Pseudomonas fluorescens,
bakteri penyebab penyakit seperti mana
Staphylococcus aureus
dan
Vibrio parahaemolyticus,
hingga kawul saprofit penyebab penyakit pada tanaman seperti
Aspergillus flavu.
[27]
Kemampuan setiap tipe rempah-rempah berbeda privat mengimpitkan pertumbuhan bakteri, dikarenakan sejumlah jenis rempah-rempah doang mampu bekerja pada bakteri tertentu. Pada penyelidikan yang dilakukan oleh Jamiah Cornell, ditemukan bahwa hanya bawang ikhlas, oregano dan bawang yang gemuk mendebah seluruh bakteri, sementara itu daun timi, tiang manis, tarragon dan jintan hanya produktif membunuh 80% bakteri, cabai hanya 75%, dan kerjakan lada hitam dan putih, jahe, adas manis dan seledri saja sampai 25%.[28]
Oleh karena itu, pengusahaan rempah-rempah sebagai zat antimikroba akan lebih efektif jika dikombinasikan antar suatu sama lain.
Antioksidan
[sunting
|
sunting sumber]
Rempah-rempah dapat digunakan jasmani bakal melawan ekstrem adil dan kanker.[29]
Lega rempah-rempah terwalak ki gua garba sintesis yang dapat bertindak seumpama antioksidan, seperti kandungan
rosmanol
lega rosemari dan sage,
polifenol
pada deringo, eugenol
pada cengkih dan lain-tak. Nafkah tersebut bisa ki memperlalaikan proses oksidasi dan mereservasi lokap dari cerminan radiasi bebas. Pada pendalaman sebelumnya, ditemukan bahwa penggunaan minyak esensial berbahan radiks rosemari berkecukupan membeningkan radikal bebas dalam tubuh sekaligus memberikan efek terapeutik.[30]
Adapun sejumlah jenis rempah-rempah yang n kepunyaan senyawa antioksidan yang panjang, ialah sage, rosemari, oregano, ketumbar, timi dan marjoram.[31]
Penanganan dan penyimpanan
[sunting
|
sunting sumber]
Bilang arena penyimpanan berisi rempah-rempah yang masyarakat digunakan di Kanada dan Amerika Maskapai
Alat paling sederhana bikin mendidik rempah-rempah adalah cobek dan ulekan.[32]
Saat ini, terwalak alat yang lebih hemat tenaga yaitu pemarut (cak bagi besaran kecil) alias penggiling (kerjakan jumlah raksasa). Sejumlah rempah-rempah juga boleh digiling dengan tangan menggunakan bantuan perlengkapan penggiling khusus. Saja cak bagi mengeluarkan karakteristik rasa dari setiap rempah-rempah secara maksimal, maka dibutuhkan pendirian tata nan sesuai, sebagai halnya dipotong, dibakar, digoreng, dipanggang dan lain-tidak. Seperti dalam budaya Eropa dan Amerika Utara, mereka mengolah kayu manis dan ketumbar dengan mandu direbus bikin mengeluarkan rasa solo berbunga rempah-rempah ini.[23]
Berlainan dengan budaya India, mereka memperalat teknik yang berbeda untuk membebaskan rasa dari setiap rempah-rempah. Seperti memantek biji mustar/sesawi dengan metode tempering, di mana memasak dengan minyak goreng yang dipanaskan sampai sangat semok kemudian biji mustar ditambahkan dan digoreng.[33]
Terserah pula dengan teknik ditumis buat mengelola jalapeno. Perbedaan metode memasak pula didasari pada perbedaan karakteristik setiap rempah-rempah. Karena tidak semua rempah-rempah ki berjebah dikerjakan dengan guru yang panjang, ada sekali lagi nan hanya terlazim ditambahkan disaat penyajian rezeki, seperti ponten wijen.
Rasa sebagian rempah-rempah mulai sejak semenjak paduan (minyak asiri) nan teroksidasi atau menguap detik terkena udara. Rempah-rempah yang digiling dapat meningkatkan luas permukaannya sehingga meningkatkan lampias oksidasi dan evaporasi.[34]
Dengan demikian, rasa rempah-rempah dimaksimalkan dengan cara menyimpan bumbu secara utuh dan baru menggiling momen akan dibutuhkan. Rempah-rempah kering utuh dapat disimpan sampai sangka-kira dua musim, sementara rempah-rempah berbentuk bubuk dan biji-bijian dapat mengotot sangkil-kira enam wulan.[35]
Selain bertambah cepat basi, rasa rempah-rempah serdak jauh lebih bukan bertahan lama.[garitan 2]
Rempah-rempah harus disimpan plong wadah tertutup, terhindar dari kilap rawi dan suhu tinggi. Situasi ini bertujuan agar rasa dan wangi-wangian berasal rempah-rempah tidak hilang akibat berpunca tingginya guru dan paparan sinar syamsu.[36]
Selain itu, master nan plus rendah juga menembakkan pertukaran karakteristik plong rempah-rempah, seperti mana warna, aroma, dan rasa. Humiditas yang terlalu sedikit juga dapat memicu munculnya bakteri lega rempah-rempah. Maka dari itu karena itu, suhu terbaik bakal menyimpan rempah-rempah yaitu antara 10˚C setakat 15˚C dengan kelembapan nisbi sekitar 55% setakat 60%.[17]
Sejumlah elemen rasa rempah-rempah mudah larut kerumahtanggaan air, darurat beberapa elemen rasa lainnya mudah larut dalam minyak maupun lemak. Umumnya, rempah-rempah membutuhkan waktu meski rasanya meresap ke makanan sehingga harus ditambahkan saat proses mulanya memasak. Peristiwa ini berbeda dengan herba yang ditambahkan di intiha proses.[37]
Pengotoran Salmonella
[sunting
|
sunting sumber]
Sebuah riset yang dilakukan makanya Badan Inspektur Obat dan Ki gua garba Amerika Perkongsian (FDA) terhadap pengiriman rempah-rempah ke Amerika Serikat plong tahun fiskal 2007-2009 menemukan bahwa sekitar 7% pengapalan terkontaminasi maka dari itu bibit penyakit Salmonella, beberapa di antaranya kebal terhadap antibiotik.[38]
Rempah-rempah meradang yang dimasak sebelum dimakan tidak menimbulkan kebobrokan. Walaupun demikian, beberapa rempah-rempah, seperti merica, bukan dimasak dan dapat menimbulkan penyakit. Rempah-rempah nan dikirim berpangkal Meksiko dan India kerap ditemukan terkontaminasi Salmonella.[39]
Gizi
[sunting
|
sunting sumber]
Rempah-rempah galibnya memiliki rasa yang abadi dan semata-mata digunakan dalam total nan sedikit sehingga hanya memberi sedikit nutrisi, meskipun sebagian rempah-rempah berupa biji-bijian mengandung banyak lemak, zat putih telur, dan karbohidrat dengan perimbangan yang samudra. Apabila digunakan kerumahtanggaan kuantitas yang besar, rempah-rempah bisa memberikan sejumlah mineral dan mikronutrien lain, seperti zat besi, magnesium, kalsium, dan enggak-tak. Contohnya, satu sendok teh paprika mengandung sekitar 1130 IU Nutrisi A, sekeliling 20% qada dan qadar kronik yang dianjurkan oleh FDA.[40]
Lihat juga
[sunting
|
sunting sumber]
- Perdagangan rempah-rempah
Gubahan
[sunting
|
sunting sumber]
-
^
Sebuah cak regu arkeologis yang dipimpin oleh Giorgio Buccellati membolongi reruntuhan gedung yang terbakar di situs Terqa, saat ini di Syria, dan menemukan sebuah pot keramik yang digdaya cengkih. Rumah tersebut tutung selingkung periode 1720 SM dan menjadi bukti pertama digunakannya cengkih sebelum masa Romawi.[3]
-
^
Rasa pala umumnya tidak bertahan lama beberapa perian setelah digiling.
Referensi
[sunting
|
sunting sumber]
-
^
Nabhan, Gary Paul (2020).
Cumin, Camels, and Caravans: A Spice Odyssey
(dalam bahasa Inggris). Univ of California Press. hlm. 99. ISBN 978-0-520-37924-4.
-
^
Ramkumar, Thakku R.; Karuppusamy, Subbiah (2021). “Plant Diversity and Ethnobotanical Knowledges of Spices and Condiments”.
Bioprospecting of Plant Biodiversity for Industrial Molecules: 231.
-
^
Ozon’Connell, John (2016).
The Book of Spice: From Anise to Zedoary
. Pegasus Books. hlm. 93. ISBN 978-1-68177-152-6.
-
^
Duke, J.A. (2002).
CRC Handbook of Medicinal Spices. CRC Press. hlm. 6. ISBN 978-1-4200-4048-7. Diakses tanggal
18 Januari
2022.
-
^
Engineers, NIIR Board of Consultants & (2006).
The Complete Book on Spices & Condiments
(intern bahasa Inggris). Asia Pacific Business Press. hlm. 126–128. ISBN 978-81-7833-038-9.
-
^
Dasgupta, Dr. Asim K. (2014).
ARTS, CRAFTS AND TRADITIONAL INDUSTRIES
(dalam bahasa Inggris). AuthorHouse. hlm. 35. ISBN 978-1-4969-7744-1.
-
^
Parthasarathy, V.A; Kandiannan, K.; Srinivasan, V. (2008).
Organic Spices
(dalam bahasa Inggris). New India Publishing. hlm. 13. ISBN 978-81-89422-84-4.
-
^
Byrne, Joseph P. (2017).
The World of Renaissance Italy: A Daily Life Encyclopedia [2 volumes]
(kerumahtanggaan bahasa Inggris). Fonem-CLIO. hlm. 315. ISBN 978-1-4408-2960-4.
-
^
Parry, John W. (1955). “The Story of Spices”.
Economic Botany.
9
(2): 195–196. ISSN 0013-0001.
-
^
Milton, Giles (2012).
Nathaniel’s Nutmeg: How One Man’s Courage Changed the Course of History
(dalam bahasa Inggris). John Murray Press. ISBN 978-1-4447-1771-6.
Throughout the Middle Ages, Venice had controlled the spice trade with an iron fist.
-
^
a
b
Adamson, Melitta Weiss (2004).
Food in Medieval Times
. Westport, Conn: Greenwood Press. ISBN 978-0-313-32147-4.
-
^
Aftel, Mandy (2014).
Fragrant: The Secret Life of Scent
(internal bahasa Inggris). Penguin. hlm. 37. ISBN 978-1-101-61468-6.
-
^
Turner, Jack (2008).
Spice: The History of a Temptation
(privat bahasa Inggris). Knopf Doubleday Publishing Group. hlm. 75. ISBN 978-0-307-49122-0.
-
^
“Saffron”.
International Association of Color Manufacturers
(n domestik bahasa Inggris). Diakses rontok
4 Januari
2022.
-
^
Ramadhany, P.; Witono, J. R.; Putri, O. (Januari 2020). “Formulation of Curcumin as Natural Dye on Polyester”.
IOP Conference Series: Materials Science and Engineering
(kerumahtanggaan bahasa Inggris).
742
(1): 012023. doi:10.1088/1757-899X/742/1/012023. ISSN 1757-899X.
-
^
Sathiya Mala, Kripanand; Prabhakara Rao, Pamidighantam; Prabhavathy, Manda Babu; Satyanarayana, Akula (Februari 2015). “Studies on application of annatto (Bixa orellena L.) dye formulations in dairy products”.
Journal of Food Science and Technology.
52
(2): 912–919. doi:10.1007/s13197-013-1038-3. ISSN 0022-1155. PMC4325075
. PMID 25694700.
-
^
a
b
Raghavan, Susheela (2006).
Forms, Functions, and Applications of Spices
(dalam bahasa Inggris). Routledge Handbooks Online. doi:10.1201/9781420004366-4. ISBN 978-0-8493-2842-8.
-
^
Thomas, Frédéric; Daoust, Simon P.; Raymond, Michel (Juni 2012). “Can we understand beradab humans without considering pathogens?: Human evolution and parasites”.
Evolutionary Applications.
5
(4): 374. doi:10.1111/j.1752-4571.2011.00231.x. PMC3353360
. PMID 25568057.
-
^
De, Minakshi; De, Amit Krishna; Banerjee, A. B. (1999). “Antimicrobial screening of some indian spices”.
Phytotherapy Research
(n domestik bahasa Inggris).
13
(7): 616–618. doi:10.1002/(SICI)1099-1573(199911)13:7<616::AID-PTR475>3.0.CO;2-V. ISSN 1099-1573.
-
^
Abdel-Maksoud, Gomaa; Elamin, Abdelrahman (2011-01-01). “A REVIEW ON THE MATERIALS USED DURING MUMMIFICATION PROCESSES IN ANCIENT EGYPT”.
Mediterranean Archaeology and Archaeometry.
11: 142.
-
^
a
b
Freedman, Paul (2008).
Out of the East: Spices and the Medieval Imagination
(kerumahtanggaan bahasa Inggris). Yale University Press. ISBN 978-0-300-21131-3.
[..] an entire pig could be had for the price of a pound of the cheapestspice, pepper.
-
^
Krondl, Michael (2008).
The Taste of Conquest: The Rise and Fall of the Three Great Cities of Spice
(kerumahtanggaan bahasa Inggris). Random House Publishing Group. hlm. 6. ISBN 978-0-345-50982-6.
-
^
a
b
Raghavan, Susheela (2006).
Forms, Functions, and Applications of Spices
(dalam bahasa Inggris). Routledge Handbooks Online. hlm. 39. doi:10.1201/9781420004366-4. ISBN 978-0-8493-2842-8.
-
^
Al-Wabel, Professor Dr. Naser; hi, Shawkat (2012-11-21). “Antimicrobial activities of spices and herbs”: 46–47.
-
^
Nair, Indu; Abdulla, Mohamed Hatha; Chandran, Abhirosh; Harsha, U.; Vivekanandan, G. (2006-04-01). “Antimicrobial activity of some of the South-Indian spices against serotypes of Escherichia onani, Salmonella, Listeria Monocytogenes and Aeromonas Hydrophila”.
Brazilian Journal of Microbiology.
37: 157. doi:10.1590/S1517-83822006000200011.
-
^
Gottardi, Davide; Bukvicki, Danka; Prasad, Sahdeo; Tyagi, Amit K. (2016). “Beneficial Effects of Spices in Food Preservation and Safety”.
Frontiers in Microbiology.
7: 1394. doi:10.3389/fmicb.2016.01394. ISSN 1664-302X.
-
^
Liu, Qing; Meng, Xiao; Li, Ya; Zhao, Cai-Ning; Tang, Guo-Yi; Li, Hua-Bin (16 Juni 2017). “Antibacterial and Antifungal Activities of Spices”.
International Journal of Molecular Sciences.
18
(6): 1283. doi:10.3390/ijms18061283. ISSN 1422-0067. PMC5486105
. PMID 28621716.
-
^
Raghavan, Susheela (1 Agustus 2004). “Developing Ethnic Foods and Ethnic Flair with Spices”.
www.ift.org
. Diakses tanggal
5 Januari
2022.
-
^
Kaefer, Christine M.; Milner, John A. (2011). Benzie, Iris F. F.; Wachtel-Galor, Sissi, ed.
Herbs and Spices in Cancer Prevention and Treatment
(edisi ke-2nd). Boca Raton (FL): CRC Press/Taylor & Francis. ISBN 978-1-4398-0713-2. PMID 22593940.
-
^
Rašković, Aleksandar; Milanović, Isidora; Pavlović, Nebojša; Ćebović, Tatjana; Vukmirović, Saša; Mikov, Momir (7 Juli 2014). “Antioxidant activity of rosemary (Rosmarinus officinalis L.) essential oil and its hepatoprotective potential”.
BMC Complementary and Alternative Medicine.
14: 225. doi:10.1186/1472-6882-14-225. ISSN 1472-6882. PMC4227022
. PMID 25002023.
-
^
Embuscado, Milda E. (1 Oktober 2015). “Spices and herbs: Natural sources of antioxidants–a mini review”.
Journal of Functional Foods. Natural Antioxidants (privat bahasa Inggris).
18: 811–819. doi:10.1016/j.jff.2015.03.005. ISSN 1756-4646.
-
^
Table, Sur La; Simmons, Marie (2008).
Things Cooks Love: Implements, Ingredients, Recipes
(intern bahasa Inggris). Andrews McMeel Publishing. hlm. 129. ISBN 978-0-7407-6976-4.
-
^
“How to cook with mustard seeds | Storecupboard Challenge”.
The Guardian
(intern bahasa Inggris). 17 Februari 2014. Diakses tanggal
5 Januari
2022.
-
^
Furia, Thomas E. (1980).
CRC Handbook of Food Additives, Second Edition
(n domestik bahasa Inggris). CRC Press. hlm. 245. ISBN 978-0-8493-0543-6.
-
^
Sánchez, Elsa S.; Kelley, Kathleen M. (21 September 2002). “Harvesting and Preserving Herbs and Spices for Use in Cooking”.
Penn State Extension
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal
1 Januari
2022.
-
^
Nnenna, Omorodion (2020-09-01). “EFFECT OF DIFFERENT STORAGE CONDITIONS ON THE MICROBIAL PROFILE OF SOME COMMONLY USED SPICES IN NIGERIA”.
Journal of Multidimensional Research & Review.
1
(2): 92.
-
^
Alfaro, Danilo (8 Juni 2019). “7 Common Seasoning Mistakes That Can Ruin Your Food”.
The Spruce Eats
(internal bahasa Inggris). Diakses terlepas
1 Januari
2022.
-
^
Van Dorena, Jane M.; Daria Kleinmeiera; Thomas S. Hammack; Ann Westerman (Juni 2013). “Prevalence, serotype diversity, and antimicrobial resistance of Salmonella in imported shipments of spice offered for entry to the United States, FY2007–FY2009”.
Food Microbiology.
34
(2): 239–251. doi:10.1016/j.fm.2012.10.002. PMID 23541190.
Shipments of imported spices offered for entry to the United States were sampled during the fiscal years 2007–2009. The mean shipment prevalence for Salmonella was 0.066 (95% CI 0.057–0.076)
-
^
“Salmonella in your spice rack? Watch out, says FDA report”.
TODAY.com
(dalam bahasa Inggris). 10 September 2013. Diakses tanggal
22 Januari
2022.
-
^
“FoodData Central”.
fdc.nal.usda.gov
. Diakses rontok
1 Januari
2022.
Pranala luar
[sunting
|
sunting sumber]
- Food Bacteria-Spice Survey Shows Why Some Cultures Like It Hot Citat: “…Garlic, onion, allspice and oregano, for example, were found to be the best all-around bacteria killers (they kill everything)…Top 30 Spices with Antimicrobial Properties…”
- May 22, 2001, Add a Little Spice to Your Life. Diarsipkan 2006-06-27 di Wayback Machine. And Take Away a Few Bacteria That Cause Disease
- August 18, 1998, Common Kitchen Spices Kill E. Coli O157:H7 Diarsipkan 1999-10-05 di Wayback Machine. Citat: “…The study is the first in the United States that looks at the effect of common spices on E. coli O157:H7. Previous studies have concluded spices kill other foodborne pathogens. “In the first part of our study, we tested 23 spices against E. coli O157:H7 in the laboratory,” Fung said. “We found that several spices are good at killing this strain of E. coli.”…”
Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Rempah-rempah
Posted by: holymayhem.com