Cara Budidaya Tanaman Gadung Cina
Tumbuhan akar | ||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
![]()
Daun dan batang tumbuhan akar, |
||||||||||||||
Klasifikasi ilmiah | ||||||||||||||
|
||||||||||||||
Label binomial | ||||||||||||||
Dioscorea hispida Dennst., 1818[1] |
||||||||||||||
Padanan kata | ||||||||||||||
Referensi[2]:
|
Gadung
(
Dioscorea hispida
Dennst., suku gadung-terselubung ataupun Dioscoreaceae) tergolong tumbuhan umbi-umbian yang memadai populer walaupun tidak serupa itu berbahagia perhatian. Gadung menciptakan menjadikan bentuk umbi nan dapat dimakan, namun berisi racun yang dapat menimbulkan keadaan tertentu pusing dan muntah apabila tidak begitu benar pengolahannya. Komoditas gadung yang paling diketahui merupakan dalam bentuk keripik meskipun rebusan tumbuhan akar juga boleh dimakan. Umbinya dapat pun diadakan arak (difermentasi) sehingga di Malaysia diketahui pula diadakan
ubi arak, selain
siung pelandok.
Di Indonesia, tumbuhan ini memiliki nama seperti
bitule
(Gorontalo),
gadu
(Bima),
gadung
(Bali, Jawa, Madura, Sunda)
iwi
(Sumba),
pisau caluk
(Tadir),
salapa
(Bugis) dan
sikapa
(Makassar).[5]
Daftar konten
-
1
Pemerian -
2
Pemanfaatan-
2.1
Pengobatan -
2.2
Konsumsi isi -
2.3
Kebaikan lain
-
2.1
-
3
Perawatan -
4
Dalam kebudayaan -
5
Catatan suku -
6
Pranala luar
Pemerian
Untuk melainkan antar-spesies dalam gadung-gadungan, mereka dapat dilainkan berdasarkan arah belitan batang, rancangan batang, lain kekurangan tidaknya duri pada batang, bentuk dan total helaian daun, tidak kekurangan tidaknya buah di atas atau biasa dinamakan “katak” atau “aerial bulbil”.[6]
Tumbuhan gadung berbatang meluas dan memanjat, panjang 5–20 m. Arah rambatannya cinta bergerak ke kiri (menyamai jihat jarum jam, kalau dilihat dari atas). Ciri khas ini terdahulu kerjakan melainkannya dari gembili (D. aculeata) nan memiliki penampilan mirip tetapi batangnya berputar ke kanan. Tumbuhan akar meluas pada pohon berbatang keras.[6]
Batangnya mersik ramping, setebal 0,5–1 cm, ditumbuhi duri atau tidak, hijau keabu-abuan. Daun-daunnya terletak berseling, dengan tiga anak daun menjari, bentuk bundar telur atau bundar telur sungsang, tipis bagai jeluang. Rente jantan terkumpul n domestik tandan di ketiak; bunga lebah ratulebah majemuk berpotongan bulir. Mahkota bunganya bercelup asfar, sutra sarinya berjumlah enam, dan berwarna kuning juga.[5]
Umbinya terlatih kerumahtanggaan tanah, berjumlah jumlah dan tak beraturan bentuknya, menggerombol dalam himpunan setakat selebar 25 cm.[7]
Tentatif buahnya, berpotongan elips, berdaging, berdiameter ± 1 cm, dan bercelup coklat.[5]
Tidak kekurangan sebagian varietasnya, di antaranya yang berumbi zakiah (yang akbar diketahui diadakan (Jw.)
gadung punel
atau
gadung ketan, sementara yang kecil berlekuk-lekuk dinamakan
gadung suntil) dan yang berumbi kuning (antara lain (Mly.)
gadung kuning, gadung kunir
maupun
gadung padi).[7]
Umbi Gadung
Pengusahaan
Pengobatan
Umbi tumbuhan akar diketahui sangat beracun. Pongkol ini dipakai diadakan racun ikan atau indra penglihatan panah. Sepotong pongkol sebesar naik banding cukup kerjakan membunuh seorang pria dalam musim 6 jam. Efek purwa berupa rasa tidak nyaman di tenggorokan, yang berangsur diadakan rasa terbakar, disertai maka itu pusing, muntah pembawaan, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan.[8]
Meski demikian di Indonesia dan Cina, parutan umbi gadung ini dipakai untuk mengobati penyakit kusta tahap awal, kutil, berbelulang dan mata ikan. Bersama dengan gadung cina (Smilax china
L.), umbi gadung dipakai bagi memulihkan luka-luka dampak kencing nanah. Di Thailand, rajangan berpangkal umbi gadung dioleskan untuk mengurangi kejang kas dapur dan kolik, dan bagi mendinginkan rebuk berbunga jejas-luka. Di Filipina dan Cina, umbi ini dipakai kerjakan mengentengkan arthritis dan rematik,[5]
dan untuk membersihkan luka binatang yang dipenuhi ulat.[8]
Umbi
Dioscorea
(genus uwi-uwian) berisi gelema kental terdiri atas glikoprotein dan polisakarida yang larut pada air. Glikoprotein dan polisakarida merupakan korban bioaktif nan berfungsi diadakan serat pangan sagu belanda air dan bersifat hidrokoloid yang berbuat jasa untuk meletakkan suratan glukosa bakat dan ketentuan total kolesterol, terutama kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein).[6]
Konsumsi isi
Umbi tumbuhan akar digunakan diadakan konsumsi isi.[9]
Meneladani coretan ki kenangan, realita mengagetkan memandukan bahwa pada tahun 1628, di saat Batavia (masa ini Jakarta) dikepung, penduduk gado singkong dan gadung.[10]
Di masa Rumphius, sebagian varietas
Dioscorea
sekali lagi ikut dimakan. Ini diperkuat dengan budaya penduduk nan meratah singkong hutan yang varietas liar di Priangan dan sebagian Jawa Timur puas 1830. Budaya ini diperkuat bahwa di Jawa Tengah-juga, memakan nasi yaitu budaya yang belum umum di sana. Ini diperkuat dengan budaya bersantap nasi nan mulai menjalar pada 1800 Masehi. Pada masa itu, serdadu VOC yang sering menjalankan tugas ke kampung-kampung sering mengangkut nasi cak bagi konsumsi mereka. Ini memberi kejelasan lakukan kita bahwa nasi belum mahajana sampai bagian pertama masa seratus tahun ke-19 dan pangkal pohon-umbian sepertalian gadung umum dimakan pada hari penyerobotan Kolonial Belanda.[10]
Tumbuhan akar terkenal beracun dan berisi alkaloid dioskorina (dioscorine) yang menyebabkan hilang akal-kusut.[9]
Di Nusa Tenggara dan Keliruku, biasa dipakai diadakan konsumsi isi diadakan pengganti jagung dan sagu terutama di wilayah-kawasan kering.[11]
Puas hari 80-an, gadung dapat ditemui di pasar-pasar Indonesia -terutama di Pulau Jawa- diadakan keripik tumbuhan akar.[9]
Di zaman sekarang ini, doang keripiknya-lah yang dimakan.[6]
Keripik tumbuhan akar besaran dijual di Belek, Jawa Barat dan rasanya gurih.[12]
Berikut merupakan metode menghilangkan racun terbit gadung:[9]
- Di Ambon irisan pangkal pohon gadung diremas-memeras kerumahtanggaan air laut lalu direndam lagi ke laut selama 2-3 hari setakat diadakan lembek. Selepas itu, baru dijemur.
- Di Bali, setelah gadung dikupas dan diiris-iris diadakan lempengan, maka ia dicampur dengan sisa bermula pembakaran gosok. Sangat direndam dalam air laut (atau dalam air garam bertakaran 3%), dan dicuci lagi dengan air batil. Penjemuran terus diterapkan sejauh 3 musim. Untuk mengarifi apakah racun yang tak kekurangan sudah lalu pupus, maka pada umumnya diujikan kepada ayam. Satu pertanda jika racunnya mutakadim lenyap, bahwa si ayam jago tidak akan merasa mabuk.
- Metode ketiga, di Kebumen, Jawa Tengah setelah gadung dilumasi dengan sisa terbit pembakaran gosok, maka tumbuhan akar tersebut harus dipendam dalam petak selama 3-4 periode. Lalu digali dan dicuci dengan air sia-sia sambil diremas-memeras seperti kumbah beras. Apabila racun telah menghilang, air bilasan yang anak bungsu tidak bercat putih payudara juga begitu juga air bilasan sebelumnya.
Apabila pengolahannya bukan betul, maka akan menciptakan rasa sakit sebagaimana memakan talas (yunior). Keracunan gadung dapat diobati dengan air degan.[9]
Manfaat lain
Sisa pengolahan tepung gadung bisa dipakai lakukan racun serangga. Bunga gadung nan berwarna asfar tersebut dapat mewangikan pakaian dan bisa dipakai kerjakan adunan surai.[11]
Oleh karena itu, sosok Bali memanfaatkan ini cak bagi memasyhurkan pakaian, rambut, dan penasihat. Getahnya dipakai privat babak pembuatan tali rami serta bakal memutihkan gaun.[12]
Perawatan
Cak bagi menanam gadung, maka purwa-tama buatlah lubang seukuran 50 × 50 cm. Semoga ditanam pada sediakala musim hujan angin. Tanah yang diinginkan gadung haruslah berdebardebar. Karena batangnya merambat, bisa ditanam selama sogang.[12]
Selepas itu, campurlah sampah kebun -sebagai bunga tanah- ke dalam tanah tersebut. Usahakan supaya umbi lalu hari terbentuk bukan akan keluar dari kapling dengan corak bau kencur, karena itu pertanda seandainya racunnya sudah pekat. Balasannya, gadung yang kita tanam tersebut tidak bisa dimakan karena racunnya nan sudah pekat.[11]
[9]
Racun ini larut dalam air.[12]
Adapun, pongkol yang telah bertaruk itulah yang dipakai kerjakan bibit. Sepatutnya, ditanam bertemu hadap dengan periode hujan. Setalah berumur 1 hari, barulah dipanen. Panen diterapkan dengan tanjau atau cukit kapling.[11]
Tumbuhan ini dapat merecup sreg ketinggian 800 mdpl, walau bisa ditemui lega ketinggian 1200 mdpl. Umumnya tidak dapat bertunas pada negeri dengan suhu rata-rata di sumber akar 20°C. Keperluan siram hujan abu minimal rendah 1000 mm/tahun dengan perian kemarau tidak bertambah dari 2-4 rembulan.[12]
Dalam kebudayaan
Dari nama tumbuhan akar muncul ujar “jadi-jadian” (yang berarti: palsu, tiruan), karena tumbuhan akar serupa dengan ubi gembili namun umbinya beracun, sehingga “mencurangi” anak adam yang mengonsumsinya. Di Jakarta Timur, tidak kehabisan provinsi yang bernama Pulo Gadung, nan sumber akar akapnya mengacu kepada nama tanaman ini. Sedangkan dumung tumbuhan akar (Ahaetulla prasina) dinamai demikian karena warna dan rancangan tubuhnya menyerupai pucuk pohon tumbuhan akar yang kerempeng langsar.
Catatan tungkai
-
^
Dennstedt, A.W.. 1818.
Schlüssel Hortus Malab.
15, 20, 33. -
^
The Plant List:
Dioscorea hispida
Dennst. -
^
Roxburgh, W.. 1832.
Flora Indica, or, Descriptions of Indian plants. vol.
III: 805. Serampore : printed for W. Thacker & co. -
^
Blume, C.L.
1827.
Enumeratio plantarum Javae et insularum adjacentium minus cognitarum vel novarum ex herbariis Reinwardtii, Kuhlii, Hasseltii et Blumii
fasc.
1: 21. Lugduni Batavorum : apud J.W. van Leeuwen. -
^
a
b
c
d
“Dioscorea hispida Dennst.”. Departemen Kesehatan. 14 November 2001. Diakses 20 April 2013.
-
^
a
b
c
d
“Uwi-uwian (Dioscorea): Pangan Alternatif nan Belum Jumlah Dieksploitasi”. Balai Penelitian Tumbuhan Kacang-kodian dan Umbi-umbian – Departemen Pertanian. 21 February 2013. Diakses 5 Mei 2013.
-
^
a
b
Sudarnadi, H. 1996.
Tumbuhan Monokotil. Penebar Swadaya, Jakarta. Hal. 107-108 -
^
a
b
Chung, R.C.K. 2001.
Dioscorea
L. [Internet] Record from Proseabase. J.L.C.H. van Valkenburg and N. Bunyapraphatsara (Editors).
Plant Resources of South-East Asia
No.
12(2): Medicinal and poisonous plants 2 PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) Foundation, Bogor, Indonesia. Diakses pada: 16-Apr-2010 -
^
a
b
c
d
e
f
Soeseno, Slamet
(1985).
Sayur-Mayur bagi Karang Gizi. keadaan.101-103. Jakarta:Penebar Swadaya. -
^
a
b
Creutzberg, Pieter; Laanen, J.T.M. van
Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia
hal.39 – 40. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. -
^
a
b
c
d
Sastrapradja, Setijati; Soetjipto, Niniek Woelijarni; Danimihardja, Sarkat; Soejono, Rukmini (1981).
Proyek Penelitian Potensi Sendang Daya Ekonomi:Ubi-Ubian
7:24 – 25 Jakarta: LIPI menjadikan pekerjaan sama dengan Balai Teks. -
^
a
b
c
d
e
Sastrapradja, Setijati; Naiola, Beth Paul; Rasmadi, Endi Rochandi; Roemantyo; Soepardijono, Ernawati Kasim; Waluyo, Eko Baroto (Red. S. Sastrapradja) (1980).
Tanaman Pelataran.
16:13 – 14. Jakarta:Kerjasama LBN – LIPI dengan Balai Bacaan.
Pranala asing
- Plantamor: Gadung
id.wikipedia.org, discussion.web.id, p2k.gilland-ganesha.com, wiki.edunitas.com, dll-nya.
Source: http://p2k.unaki.ac.id/en3/2-2878-2775/Gadung_104099_p2k-unaki.html
Posted by: holymayhem.com