Pembajak dilindungi oleh Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebuah kitab klasik besutan Serbuk Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Umar al-Habasyi al-Wishabi nan berjudul al-Harakah fi Fadhli as-Sa’yi wa al-Harakah, mencoba menguraikan tentang urgensi tani dan perhatian Islam dalam pengelohan hasil bumi dari berkebun dan bertani.
Cerdik pandai yang wafat sreg 782 H itu menegaskan bahwa secara garis besar, ada tiga profesi utama merupakan berhuma, industri, dan perdagangan. Mengutip perkataan Rohaniwan al-Mawardi, bercocok tanam adalah profesi paling terhormat. Ini lantaran pekerjaan tersebut menuntut dedikasi yang tinggi dan sikap tawakal munjung terhadap Sang pencipta SWT. Al-Mawardi pun menukilkan sebuah perkataan nabi, tentang keutamaan bertawakal. “Orang nan bertawakal akan masuk surga tanpa hisab,” sabda Rasulullah SAW di hadis itu.
Imam an-Nawawi menambahkan, karier ini diposisikan terhormat karena menerimakan manfaat yang terlampau banyak bakal kontinuitas kehidupan makhluk. Bahkan, keistimewaan berladang tidak hanya terbatas untuk khalayak, akan cuma juga bermakna bikin makhluk hidup lainnya. Binatang-dabat yang hidup di marcapada, juga merasakan dampak bersumber berpadan tanam, seperti sapi, kerbau, jaran, alias burung.
Al-Wishabi memfokuskan, syariat bertani ialah fardhu kifayah. Kewajiban tersebut gugur takdirnya telah dilaksanakan oleh keropok orang. Bila tak ada satu pun pihak nan melaksanakan aplikasi ini, maka sanksi dosa akan ditujukan ke semua orang. Penempatan profesi ini n domestik kategori fardhu kifayah, sebab urgensi dan ketagihan segenap umat makhluk terhadap hasil tani.
Kedua pater terkemuka, ialah Pendeta al-Haramain dan an-Nawawi menyatakan, ada kalanya fardhu kifayah bisa lebih penting ketimbang fardhu a’in. Karena, anak bini fardhu kifayah bila tak terpenuhi makanya satu pun orang, dosanya akan dipikul secara kolektif. Berlainan dengan fardhu alat penglihatan, yang seandainya lain diolah dampak hukumnya kembali ke khalayak belaka.
Berbendang, sangat terpandang intern Islam, demikian ungkap al-Wishabi. Keutamaan bertani alias bertanam, diabadikan baik n domestik ayat Alquran ataupun titah Nabi.
Melangkahi profesi ini, ungkap al-Wishabi, maka akan terang benderang tentang kekuasaan Almalik SWT. Dia mendeklarasikan andai satu-satunya perakit yang menguasai unsur air, mengubahnya menjadi air hujan lalu menurunkannya ke manjapada, bakal menghidupi berbagai tipe tanaman nan dipergunakan cak bagi kelangsungan makhluk hidup.
“Dan Dialah yang meletakkan air hujan pecah langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam merecup-tumbuhan maka Kami lepaskan dari tumbuh-pohon itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak.” (QS al-An’am [6]: 99).
Kelebihan ini sekali lagi dikuatkan di sejumlah perkataan nabi. Di antaranya perbuatan nabi nabi muhammad berasal Abdullah bin Umar. Hadis yang dinukilkan oleh ats-Tsa’labi dan al-Wahidi itu menyatakan bahwa khalayak yang bersawah akan mendapat pahala di sisi Sang pencipta SWT.
Tiap batang tanaman yang ia budi dayakan pada hakikatnya, tertulis asma Almalik di dalamnya. Maka, tiap persiapan nan diayunkan sendiri petani merentang tipar kembali, sejatinya akan teriring dengan pahala basmalah tersebut.
Sebuah riwayat Muslim menegaskan pula akan halnya keutamaan berladang. Terlebih bila pekerjaan itu dilakukan oleh seorang Muslim. Suatu ketika, Rasul berjumpa dengan Ummu Khalayak al-Anshariyah di kebun kurma. Rasul memanyakan, milik siapakah ladang ini dan siapa yang menguburkan ratusan pohon kurma tersebut. “Mukminat atau non-Muslimkah engkau?” kata Nabi. Ternyata, jawabannya adalah Muslim.
Rasul lagi mengungkapkan pahala yang menyertai peladang Muslim tersebut. Bahwa, tidak ada suratan yang bertambah pantas bagi koteng Mukminat yang menanam tanaman, lalu dijadikan makanan cucu adam ataupun binatang melata alias barang apa pun, kecuali akan termaktub laksana sedekah baginya setakat tahun kiamat kelak. Tidak heran bila lain sedikit landasan Anshar ataupun Muhajirin nan menyibukkan diri dengan bertani atau bercocok tanam.
Konon, Abuk Hurairah yang terkenal dengan periwayatan perbuatan nabi nabi muhammad terbanyak pun, terkenal dengan aktivitas berladangnya. Para sahabat, memang asing biasa, mereka zuhud, juru ibadah, dan juru agama, tetapi bukan korespondensi abai terhadap urusan materialisme mereka. Tidak terkecuali, bersumbangsih kerjakan perturutan hidup semesta sosok, lewat berladang atau bercocok tanam.
Kali anekdot klasik dari bangsa Arab berikut ini bisa rendah menjadi bahan renungan, bahwa man la yamliku tha’amahu la yamliku qararahu. Hidup memang bukan untuk makan, tetapi makan adalah penunjang terdepan lakukan tetap hidup. Anekdot itu menyatakan, minus rezeki, comar mana tahu ilmu mantik bukan terarah. Intern konsep Islam, lain hanya logika, sahaja menjaga ketahanan pangan, berjasa kembali mempertahankan lima tujuan syariah (dharuriyat al-khamsah). Tak ada saringan lagi, gendong penuh swasembada alas dan lindungi pembajak kita.
sumber : Pusat Data Republika
BACA Pun: Update Berita-Berita Ketatanegaraan Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini